Minggu, 11 Januari 2009

PARADIGMA BARU PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN MENUJU MASYARAKAT MADANI

Oleh:

Dr. H. Koesnan A. Halim, SH. dan Dr. Fahrurrozi,M.Pd.

A. Pendahuluan

Tuntutan reformasi yang saat ini berkembang di negara kita telah membawa berbagai implikasi dalam segala bidang, apakah itu di bidang ekonomi, politik, sosial, hukum, dan termasuk juga dalam bidang pendidikan. Salah satu tuntutan yang mempunyai makna adalah tuntutan agar bangsa Indonesia tumbuh dan berkembang ke arah masyarakat madani (civil society) melalui bidang pendidikan. Untuk menuju ke arah masyarakat madani melalui pendidikan bukanlah hal yang mudah, perlu adanya sinergi yang erat antara pelaksana pendidikan (tenaga pengajar), masyarakat, maupun pengambil kebijakan (pemerintah). Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menuju masyarakat madani adalah melalui pendidikan kewarganegaraan (selanjutnya disingkat PKn) dalam arti yang luas atau “citizenship education”, yang mencakup sasaran dunia persekolahan melalui “school civic education” dan masyarakat luas melalui “community civic education” (Cogan:1999). Pada masa sebelum reformasi, PKN mengalami masa kejayaan, hal ini terlihat dalam kurikulum yang di dalamnya tercakup mata pelajaran yang berbau wawasan kebangsaan, seperti Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pendidikan Kewarganegaraan, sejarah, dan lain sebagainnya. Dengan masa kejayaan tersebut memang kita lihat masyarakat Indonesia menyadari akan pentingnya arti PKn. Hal ini ditandai dengan adanya kerukunan antarmasyarakat dalam berbagai bidang baik itu keagamaan, sosial, pendidikan, dan lain sebagainya.

Namun, dari eksistensinya PKn pada masa sebelum reformasi adanya keinginan pemerintah/penguasa untuk mengorientasikan PKn pada pengembangan nilai moral yang kabur dan tidak jelas akar keilmuannya, dan lebih diorientasikan untuk mendukung kepentingan rezim pada masa itu untuk mempertahankan status quo. Seiring dengan perubahan politik dari otoriterisme ke demokratisasi untuk menuju Indonesia Baru (civil society), paradigma lama PKn mengalami anomali yang memuncak pada krisis eksistensi PKn.

Untuk mengatasi krisis tersebut perlu dimunculkan paradigma baru PKn, yaitu paradigma yang diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah yang tidak mampu diatasi paradigama lama PKn dan juga sejalan dengan Indonesia Baru. Sosok paradigma baru PKn pada dasarnya dikonstruksi berdasarkan antitesis terhadap paradigama lama PKn. Sosok paradigma baru dapat dihasilkan melalui: (1) pendidikan karakter (character building), (2) penggunaan metode klarifikasi nilai-nilai, (3) menonjolkan aspek budi pekerti, dan (4) pendidikan multikultural. Sebelum kita membahas, satu persatu komponen ini, lebih dahulu kita jelaskan pengertian tentang paradigma, Pendidikan kewarganegaraan, dan masyarakat madani.

B. BEBERAPA PENGERTIAN ISTILAH

1. Paradigma

Istilah paradigma sudah sering dilihat dan didengar, namun demikian antara masing-masing pembaca atau pemirsa belum terdapat konsep (pengertian) yang sama. Oleh karena itu perlu dibahas lebih dahulu pengertian paradigama itu. Paradigma berasal dari bahasa asing yaitu “paradigm” yang artinya model atau pola sesuatu yang dimaksud atau diidekan (Procter:1982). Selanjutnya, Kuhn menyatakan pada prinsipnya ada dua aspek yang terdapat dalam paradigma, yaitu aspek filosofis (fundamental) dan aspek yang skopnnya terbatas, seperti: konsep teori, dan metode. Kemudian untuk menghindari kebingungan, maka Kuhn menjelaskan bahwa kedua aspek tersebut yang dimaksud adalah “matriks disipliner”. Dinyatakan sebagai disipliner karena paradigma itu mengacu pada disiplin tertentu, sedangkan dinyatakan sebagai “matriks”, karena paradigma itu terdiri atas berbagai unsur yang tertata (paradigamtik), yang masing-masing memerlukan spesifikasi lebih lanjut. Paradigmatik inilah yang membentuk matriks disipliner. Dengan demikian paradigmatik membentuk keseluruhan dan berfungsi bersama-sama. Dengan kata lain istilah paradigma mengacu pada unsurr filosofis, sedangkan paradigmatik pada unsur instrumental. Untuk mempertegas pendapat Kuhn tersebut, Ritzer (1992) merumuskan pengertian paradigma secara lebih jelas. Menurutnya paradigma adalah pandangan yang mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang mestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan.

2. Pendidikan Kewarganegaraan

PKn merupakan mata pelajaran yang berupaya mempersiapkan murid untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesuai dengan tuntutan nilai dan moral bangsa Indonesia. Oleh karena itu, PKn merupakan mata pelajaran yang digunakan sebagai wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia. Nilai luhur dan moral tersebut diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku kehidupan sehari-hari siswa, baik sebagai individu maupun sebagai bagian anggota masyarakat dan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

Selain komponen keberagamaan, PKn juga mengemban tugas untuk delapan komponen lainnya, terdiri dari tiga komponen inti demokrasi, empat komponen penunjang dan satu komponen sasaran akhir. Dalam komponen keberagamaan, sasaran yang ingin di raih adalah pengembangan potensi warga sebagai individu. Potensi yang dimaksudkan itu adalah individu sebagai insan Tuhan, sebagai makhluk sosial, sebagai warga negara Indonesia serta sebagai warga dunia yang memiliki wawasan universal tetapi tidak terasing dari semangat kepribadian bangsanya. Adapun komponen demokrasi yang merupakan kemampuan dasar paling inti dalam PKn menyangkut pemahaman akan cita-cita, nilai dan konsep demokrasi itu sendiri. Dengan adanya pemahaman tersebut diharapkan tumbuh suatu dorongan untuk berprilaku demokratis pada seluruh warga negara Indonesia. Sedangkan komponen penunjang terdiri dari kemampuan-kemampuan dasar yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan sikap dan perilaku demokrasi dalam kehidupan masyarakat dan negara. Sasaran akhir yang ingin dicapai dari penerapan ketiga komponen itu adalah kompetensi kewarganegaraan yang mengarah pada pembentukan warga Negara yang mampu berperan secara cerdas dan bertanggung jawab dalam tata kehidupan masyarakat demokratis.

Center for Indonesian Civic Education (CICED) (2000) memberikan pengertian tentang PKn yang merupakan proses transformasi yang membantu membangun masyarakat yang heterogen menjadi kesatuan masyarakat Indonesia, mengembangkan warga negara Indonesia yang memiliki pengetahuan dan kepercayaan terhadap Tuhan, memiliki kesadaran yang tinggi terhadap hak dan kewajiban, berkesadaran hukum, memiliki sensitivitas politik, berpartisipasi dalam politik, dan masyarakat madani (civil society). PKn di sekolah dan di luar sekolah pada dasarnya merupakan komponen utama pendidikan demokrasi yang sengaja dirancang, dilaksanakan, dievaluasi, dan secara kreatif dikembangkan secara berkesinambungan oleh pemerintah bersama dengan lembaga independent dalam bidang keilmuan, kependidikan, dan profesional yang secara akademis memusatkan perhatian pengkajian konsep dan proses demokrasi dan secara profesional bekerja untuk mendidik warga negara yang cerdas dan baik dalam upaya mewujudkan masyarakat madani Indonesia (Sudarsono:1999).

Bila merujuk kepada uraian di atas, tampak bahwa PKn merupakan sebuah cara atau strategi yang digunakan yang bertujuan memberikan pemahaman terhadap demokrasi, moral, wawasan kebangsaan dan lain sebagainya. Namun demikian, Apa yang diharapkan dari filosofi PKn ini jauh dari harapan. Hal ini tercermin pada paradigma PKn persekolahan yang berkembang selama orde baru (paradigma lama). Dalam paradigma lama, visi PKn lebih ditekankan pada kepentingan kekuasaan untuk mempertahankan status quo, sedangkan misinya lebih ditekankan pada upaya mengembangkan warga negara yang baik, dalam arti konformitas dan kepatuhan pada kekauasaan/pemerintah tanpa dibarengi daya kritis. Materi sebagai masalah pokok suatu disiplin, bersifat nonmatriks dan dikembangkan didasarkan pada doktrin nilai normatif, ini mencerminkan akar keilmuan (body of knowledge) bukan merupakan paradigma pilihannya. Karena menganut paradigma yang demikian tersebut, maka mengakibatkan pendidikan kewarganegaraan persekolahan sangat rentan terhadap perubahan politik (tergantung pada kepentingan rezim yang memerintah), sehingga sangat lemah akar keilmuannya. Di samping itu, berakibat kurang mampu untuk mengembangkan pemberdayaan warga negera.

3. Masyarakat Madani (Civil Society)

Dewasa ini tampak telah mengkristal tentang apa yang dimaksud dengan masyarakat Indonesia Baru, yaitu masyarakat sipil atau madani (civil society). Apalagi akhir-akhir ini istilah masyarakat madani sering digunakan sebagai kerangka acuan gerakan reformasi. Gambaran masyarakat madani ditempatkan sebagai cita ideal di mana partisipasi dan keikutsertaan masyarakat dalam mengatur dan menyelenggarakan negara muncul sangat dominan. Dengan demikian, masyarakat madani selalu menunjuk pada optimalnya keterlibatan masyarakat dalam menentukan masa depan dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kata madani berasal dari bahasa Arab, yang dari penggunaan kata itu sendiri dapat dilihat dari beberapa sisi. Pertama kata madani dalam kedudukannya sebagai nisbah dari kata madinah yang berarti kota atau urban. Lawan dari kata madinah ini adalah badiah atau qaryah yang berarti kampung atau rural. Bila dibandingkan antara kehidupan masyarakat kota dan kehidupan masyarakat desa, maka satu hal yang sangat menonjol adalah kota lebih maju dari desa. Dengan begitu madani dalam hal ini mengandung arti maju atau kemajuan. Bila kata “madana” yang merupakan akar kata dari madinah itu dikembangkan kepada tamaddana atau tamaddun secara arti kata akan berarti berakhlak atau bertingkah laku sebagaimana orang kota yang lebih maju. Kata tamaddun ini sering dipakai untuk arti peradaban yang dalam bahasa Inggris digunakan kata civilization.

Kedua kata madani dari segi diterjemahkannya ke dalam bahasa Inggris dengan civil society. Civil dalam hal ini berarti orang, atau orang secara perorang atau perdata. Bila kata orang perorangan itu dikaitkan dengan kata masyarakat akan berarti orang secara perorangan menempati kedudukan yang sama dalam kehidupun kelompok atau masyarakat. Ungkapan ini mengandung arti mandiri atau kemandirian. Civil juga berarti sopan dan beradab. Masyarakat civil berarti masyarakat yang beradab atau mempunyai peradaban atau civilization. Bila kata masyarakat madani dalam arti masyarakat yang baik, sopan, dan beradab dalam artian dihubungkan dengan madani atau masyarakat yang ideal itu adalah masyarakat yang maju dan mandiri serta sopan dan beradab.

Dalam konteks Indonesia, arah masyarakat madani adalah terciptanya pola kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara yang didasarkan pada moral dan etika luhur bangsa Indonesia. Segenap perilaku masyarakat Indonesia senantiasa dijiwai oleh moral dan etika serta akhlak yang mulia. Harun Nasution (1985) mengatakan bahwa masyarakat yang baik dan bahagia adalah masyarakat yang para anggotanya mempunyai akhlak mulia dan budi pekerti luhur.

C. Sosok Paradigma Baru PKn

Untuk mencari sosok paradigma baru PKn, paling tidak perlu melakukan reorientasi terhadap dua aspek, yaitu krisis yang menimpa paradigma lama PKn dan civil society sebagai masyarakat Indonesia Baru. Dengan cara demikian, maka upaya merekontruksi paradigma baru diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah yang dihadapi PKn demi kepentingan bangsa dan Negara.

Seperti telah dikemukakan di depan, aspek krisis yang dialami paradigma lama karena terjadinya pertentangan dan penyimpangan (anomali). Anomali itu, misalnya sebagai disiplin sangat lemah dimensi akademiknya karena apa yang dibahas dalam PKn berupa nilai yang tidak jelas sumber dan akar keilmuannya. Orientasi pada aspek civil society sebagai masyarakat Indonesia baru, berarti intinya bagaimana mengembangkan suatu masyarakat yang otonom khususnya secara politis dan beradab yang mampu meruntuhkan otoriterisme dan menggantinya dengan demokratisasi.

Berdasarkan pemikiran di atas, maka sosok paradigma baru hakekatnya merupakan antitesis dari paradigma lama. Sehingga paradigma baru yang muncul mestinya berupa PKn yang didalamnya lebih menekankan kepada (1) pendidikan karakter (character building), (2) penggunaan metode klarifikasi nilai-nilai, (3) menonjolkan aspek budi pekerti, dan (4) pendidikan multikultural. Keempat aspek tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Pendidikan Karakter (character Building)

Tujuan akhir dari PKn agar siswa memiliki pola pikir dan perilaku yang bermoral. Pola pikir dan perilaku ini dapat dilakukan dengan menerapkan karakter pelajar (character building) secara penuh dalam PKn. Dengan adanya pendidikan karakter diharapkan upaya mencerdaskan moralitas generasi muda bangsa Indonesia dapat tercapai dengan baik. Sebenarnya, kalau efektif, ilmu sendiri memberi kontribusi dalam character building pelajar. Dengan terbiasa mempelajari ilmu secara bertahap, biasa bekerja menurut aturan diharapkan pelajar akan membiasakan diri untuk bekerja secara sistematis, runtut, dan memperkecil unsur spekulatif. Oleh karena itu, tujuan mendidik karakter pelajar baru dapat tercapai di sekolah apabila PKn diberikan dalam suasana bebas, siswa tidak dibayang-bayangi kewajiban untuk lulus dari pelajaran dengan standar nilai tertentu, siswa terlibat dalam prose pembelajaran tanpa tekanan sekalipun itu pelajaran wajib. Karena tidak ada alat ukur kuantitatif, guru akan lebih berusaha membuat suasana belajar mengajar di kelas menjadi menarik dan berbobot, dengan simpatik memancing minat siswa untuk mendengarkan.

2. Penggunaan metode klarifikasi nilai-nilai

Di dalam PKn hendaknya terdapat sebuah cara/metode yang digunakan guru untuk membelajarkan muridnya sehingga diharapkan dapat meningkatkan moral, perilaku, wawasan kebangsaan, dan lain-lain. Kita tidak ingin setiap saat mendengar dan melihat terjadinya tawuran antarpelajar, seks bebas, narkoba, maupun terbiasa mencontek. Untuk menyikapi hal tersebut perlu adanya metode yang digunakan untuk menangkal hal-hal negative yang terjadi pada pelajar kita. Salah satu metode PKn yang perlu dipertimbangkan untuk dikembangkan dalam system pendidikan kita adalah metode klarifikasi nilai-nilai (values clarification). Metode ini pada prinsipnya sangat menghindari pemaksaan nilai-nilai pada diri para siswa. Gagasan dasar yang melandasi metode ini ialah bahwa setiap siswa berhak dan bertanggung jawab atas pembentukan nilai-nilai hidupnya sendiri. Tugas guru hanyalah menyadarkan setiap siswa atas nilai-nilai kehidupan yang dipilihnya sendiri secara bebas dan bertanggung jawab.

Pendidikan yang produktif dan efektif tentu saja tetap harus memperhatikan dimensi kognitif, afektif dan aksional. Dimensi kognitif berkaitan dengan pemahaman rasional dan kemampuan memilah serta memilih nilai-nilai yang melingkungi kehidupan sehari-hari. Dimensi afektif berkenaan dengan kecocokan rasa serta hati. Adapun dimensi aksional berhubungan dengan tindakan kongkret yang merupakan pengejawantahan atas pemahaman serta kecocokan suatu nilai yang telah dipilih oleh para siswa itu sendiri. Tampaknya metode klarifikasi nilai nilai seperti apa yang diuraikan di atas sangat sederhana. Akan tetapi apabila diterapkan secara tepat akan berimplikasi kepada moral dan perilaku siswa.

3. Menonjolkan aspek budi pekerti

Seperti yang diuraikan di atas, terdapat sembilan komponen PKn, salah satunya adalah komponen keberagamaan yang di dalamnya tercakup unsur budi pekerti. Walaupun tercakup dalam komponen PKn, unsur budi pekerti masih belum kelihatan eksistensinya. Hal ini dapat kita lihat pada proses pembelajaran PKn di sekolah yang cenderung mengedepankan komponen demokrasi dan komponen lainnya. Komponen keberagamaan yang di dalamnya tercakup unsur budi pekerti lebih banyak dianaktirikan. Hal ini menjadi pertanyaan besar kita semua, apakah komponen keberagamaan merupakan bagian dari mata pelajaran pendidikan agama yang skopnya berbeda dengan PKn? ataukah unsur budi pekerti merupakan lahan bagi orang tua siswa yang dapat diajarkan di rumah?. Pertanyaan ini membuat kita merenung apakah ini terjadi karena di dalam kurikulum unsur budi pekerti tidak menonjol?, apakah guru yang mengajarkan PKn tidak memiliki kualifikasi dan kompetensi yang jelas?. Semua pertanyaan tersebut dapat kita jawab apabila semua komponen yang terlibat dalam PKn menyadari akan pentingnya unsur budi pekerti.

Guru sebagai pelaksana di lapangan diharapkan dapat lebih menonjolkan unsur budi pekerti yang sesuai dengan budaya bangsa Indonesia. Membicarakan aspek demokrasi dalam proses pembelajaran merupakan suatu hal yang relevan, namun apabila membicarakan demokrasi secara berlebihan akan mengakibatkan tidak baik akan pemahaman siswa terhadap arti, dan fungsi demokrasi. Adalah wajar apabila seorang guru membicarakan demokrasi dengan diimbangi unsur budi pekerti sehingga siswa akan memahami bahwa demokrasi yang di dalamya terdapat sendi-sendi budi pekerti akan menghasilkan pendidikan demokrasi secara benar.

Sebagai penentu kebijakan, pemerintah hendaknya dapat menonjolkan aspek budi pekerti dalam PKn. Menurut penulis, minimal harus terdapat 40% unsur budi pekerti yang harus masuk dalam kurikulum PKn. Seperti yang diuraikan di atas, di dalam PKn paradigma lama, unsur budi pekerti masuk ke dalam komponen keberagamaan. Untuk ke depannya perlu juga diperhatikan unsur budi pekerti terintegrasi ke dalam komponen demokrasi dan komponen lainnya.

4. Pendidikan Multikultural

Terjadinya perpecahan bangsa dewasa ini seperti, gerakan separatis, terorisme, kerusuhan yang berbau SARA, tawuran antar pelajar dan lain sebagainya diakibatkan ada yang salah dalam proses bernegara kita. Kesalahan terbesar yang penulis amati adalah kurangnya pendidikan yang berwawasan kebangsaan bagi setiap rakyat Indonesia. Memang di dalam mata pelajaran PKn unsur berbangsa dan bernegara dibahas dan diajarkan. Namun demikian unsure multikultural sebagai perekat kebangsaan setiap warga negara Indonesia tidak diajarkan secara benar.

Multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatic melainkan cara pandang kehidupan manusia, karena hamier semua negara di dunia tersusun dari anekaragam kebudayaan. Artinya perbedaan menjadi asas dan gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi semakin intensif, maka multikulturalisme itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan multikultural sebagai politik pengelolaan perbedaan kebudayaan warga Negara (Kompas, 22 Januari 2006). Merujuk kepada uraian di atas, model kebijakan multicultural seperti apa yang dapat diterapkan dalam kurikulum PKn. Hikmat Budiman (2005) mengemukakan tiga model kebijakan multikulturalisme, yaitu: (1) model yang mengedepankan nasionalitas. Nasionalitas adalah sosol baru yang dibangun bersama tanpa memperhatikan aneka suku bangsa, agama, dan bahasa serta nasionalitas bekerja sebagai perekat integrasi; (2) model nasional-etnik yang berdasarkan kesadaran kolektif etnik yang kuat yang landasannya adalah hubungan dan dan kekerabatan dengan pendiri bangsa; (3) model multikultural-etnik yang mengakui eksistensi dan hak-hak warga etnik secara kolektif. Dalam model ini keanekaragaman menjadi realitas yang harus diakui dan diakomodasi Negara, dan identitas dan asal-usul warga Negara diperhatikan.

D. Penutup

Tentu saja apa yang dipaparkan di atas masih sangat sederhana. Posisinya sebagai pengantar diskusi ini membuka kemungkinan untuk diperdebatkan guna menemukan rumusan yang lebih sempurna dan komprehensih tentang gamabaran paradigma baru pendidikan kewarganegaraan menuju masyarakat madani.

Untuk itu, kritik, saran, perbaikan betapapun kecilnya akan sangat berguna bagi kesempurnaan percikan-percikan pikiran yang sudah dicoba ditampailkan dalam makalah ini.

Jakarta, 24 Januari 2006

Dr. H. Koesnan A. Halim, SH.

DAFTAR PUSTAKA

CICED, 2000. A Need Assessment for New Indonesian, Civic Education : A National Survey 1999 : 2000, Bandung : CICED.

Kompas. “Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia”, edisi Sabtu, 21 Januari 2006.

Kuhn, Thomas S. 1993. Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. Penerjemah : Tjun Surjaman. Bandung : Rosdakarya.

Nasution, Harun. 1985. Ajaran Islam Tentang Akal dan Akhlak. Seminar Nasional Pendalaman Agama. Akarta : IAIN Syarif Hidayatullah.

Procter, Paul (editor in chief). 1982. Longman Dictionary of Contemporary English. USA: Longman Group Ltd.

Ritzer, George. 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Penerjemah: Alimandan. Jakarta : Rajawali Press.

Hikmat Budiman, dkk. 2005. Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia. Jakarta: Yayasan Intereksi.

EMPAT LANGKAH MEMBACA BUKU

YANG EFEKTIF DAN EFISIEN

Jika kita sedang melakukan desk study (study literatur) banyak buku (references) yang harus dibaca untuk mencari topik yang relevant dengan study yang sedang dilakukan. Sesekali kita juga tertarik untuk melakukan telaahan kepada buku-buku baru yang memuat teori-teori baru, dan mencoba melakukan perbandingan-perbandingan. Jika kita mendapat tugas mendadak dari atasan, dosen, instruktur, dan sebagainya untuk mengkaji, menelaah teks book, laporan hasil study, proceeding dan sebagainya yang cukup tebal, dan sekaligus diminta untuk membuat resume (summary), sementara, waktu yang tersedia sangat terbatas.

Bagi peneliti atau bagi mereka yang sedang membuat tesis, skripsi, dan sebagainya, kajian/telaahan buku sangat penting untuk mendukung pendebatan, model, metodology study, merumuskan asumsi, membuktikan hipotesa, menganalisa dan sebagainya. Sedangkan bagi pengajar, kajian/telaahan buku sangat bermanfaat dalam memperluas wawasan, memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, mengikuti dinamika perkembangan, melihat hubungan-hubungan antara teori-teori kenyataan di lapangan dan sebagainya, sehingga materi yang diajarkannya tidak kering, selalu menarik dan merangsang mahasiswa untuk menggali lebih mendalam (Quriousity).

Bagaimana kita dapat belajar (membaca-buku) dengan cepat tetapi efektif dan efisien? Berikut disampaikan 5 (lima) langkah yang ditawarkan : General Orientation, Alternative Choice, Preparation, Action, Memorial File.

1. General Orientation

1. Kenali penulisnya : Bibligraphy, disiplin ilmu, kepiawaiannya, latar belakang penulisan, pactical experiens, karya ilmiah lainnya. Bandingkan dengan penulisannya yang setarap dan dalam disiplin ilmu yang sama (luar dan dalam negeri).

2. Baca daftar isi, kecuali organisasi materi/hubungan antar bab. Cari bab-bab/sub-sub bab yang erat kaitannya dengan topik/permasalahan/study yang sedang anda tekuni.

3. Baca kata pengantar dan pendahuluan (latar belakang, tujuan, ruang lingkup, pendebetan, hipotesa awal, dan sebagainya).

4. Lihat tahun penerbitan, validasi data informasi, aktualita, fenomena, relevansi.

2. Alternative choice

Bandingkan hasil observasi di atas dengan tingkat kebutuhan/kepentingan anda saat itu. Berdasarkan tingkat kemanfaatan “buku” dapat dikategorikan sebagai berikut :

5. 1. Key book/materials : 80-100% sangat terkait langsung/relevan dengan study/permasalahan yang sedang anda tekuni sehingga harus dipelajari dengan penuh keseriusan.

6. 2. Potentional book/materials : 60-80% terkait (langsung, tak langsung), cukup relevan dengan permasalahan/study yang anda tekuni tapi mempunyai potensi dalam mendukung/menunjang study anda sehingga ditempatkan pada prioritas kedua.

7. 3. Ocassional book/materials : 40-60% terkait, prioritas terakhir. Pada saat itu kurang relevan, tetapi suatu saat dapat naik statusnya menjadi key book/materials apabila perubahan/fenomina yang terjadi memperkuat asumsi yang dipakai sehingga menjadi iklim yang condusif/favourable bagi berlakunya teori, pendebatan, model yang ada dalam buku tersebut.

8. 4. Unrelevant books/materials : 40% dianggap tidak relevan sebaiknya jangan dibaca dulu mungkin dapat digunakan untuk study yang lain.

(Dengan catatan : interval presentase tersebut terserah justifikasi anda)

3. III. Preparation

Untuk kegiatan pengkajian/telaahan buku-buku yang memerlukan keseriusan perlu dipersiapkan :

Physis/biologis : Pastikan kondisi fisik anda dalam keadaan prima/fit, otak segar, penglihatan normal, sirkulasi darah, sistem pemapasan, sistem pencemaran, semuanya dalam keadaan normal, baju longgar.

Psychis : Pastikan kondisi mental, emosional, dan pikiran anda dalam keadaan normal tanpa tekanan, bebaskan dari gangguan persoalan rumah tangga/keluarga, masalah ekonomi, masalah seks dan sebagainya.

Environment : Ciptakan suasana yang cocok bagi anda-tempat belajar, meja-kursi, lampu belajar, sirkulasi udara, keharuman. Bunga, musik, makanan kecil, minuman, jam duduk, akses ke kamar kecil, kertas, alat-alat tulis dll.

Timing : Carilah waktu yang tepat yang diperkirakan tidak akan terganggu oleh tamu, anak-anak, isteri/suami, penagihan rekening, dll

4. IV. Action

Teknik membaca yang baik dan benar :

9. 1. Siapkan alat tulis, jam dan keperluan lainnya pada posisi yang mudah dijangkau.

10. 2. Letakkan buku di atas meja : lampu di sebelah kiri buku (karena anda membaca tulisan dari kiri ke kanan) gunakan cahaya 25-60 watt dan jangan menggunakan neon (cahaya diffuse).

11. 3. Duduklah tegak di atas kursi dengan ketinggian optimum (posisi buku sejajar dengan diafragma antara rongga dada dan perut).

12. 4. Kepala diusahakan tegak lurus-jarak pandang antara mata dengan tulisan ± 30 cm.

13. 5. Mata bergerak dari kiri ke kanan sesuai dengan urutan huruf/kalimat yang sedang dibaca (jadi bukan kepala yang bergerak).

14. 6. Sesekali berdiri menghirup udara yang segar dan memberikan kesempatan mata untuk melihat yang jauh dan hijau/segar.

15. 7. Sebelum buku ditutup, jangan lupa selipkan batas membaca kemudian simpanlah pada tempat semula

Metoda membaca yang efektif dan efisien

Keberhasilan membaca bukan karena lamanya melainkan karena keefektifan dan keefisienannya. Lebih baik sebentar tapi sering dan kontinyu, daripada lama tetapi hanya satu kali.

Kebiasaan sering membaca ini dapat ditingkatkan frekwensinya, misalnya dari dua kali sehari menjadi tiga kali sehari dan seterusnya.

Trik-trik berikut ini dapat membantu anda agar dapat membaca buku dalam waktu singkat tetapi efektif dan efisien.

Quick reading :

5. 1. Pahami

6. 2. Kuasai

7. 3. Pilah

8. 4. Baca

9. 5. Kaji

10. 6. Buatlah Catatan

11. 7. Memorial file

12. 8. Selesai


PEMEROLEHAN SINTAKSIS PADA

ANAK USIA 2 TAHUN

Fahrurrozi

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemerolehan sintaksis pada anak usia 2 tahun terutama dalam pemerolehan kalimat deklaratif, imperatif, dan introgratif. Penelitian dilakukan pada seorang anak yang bernama Cintia Dewi putri pasangan M. Igbal dan Nurhayati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemerolehan kalimat deklaratif, kalimat imperatif dan introgratif pada Tia cenderung mengalami kemajuan yang luar biasa. Ini dibuktikan dengan penguasaan lebih dari dua, tiga, bahkan empat kata dalam waktu hanya satu bulan.

Kata kunci : pemerolehan, sintaksis, anak 2 tahun, deklaratif, imperatif, dan introgratif.

I. PENDAHULUAN

Pemerolehan bahasa seorang anak berkaitan erat dengan keuniversalan bahasa. Artinya keterkaitan ini menjurus kepada adanya elemen-elemen bahasa yang urutan pemerolehannya bersifat universal absolut, ada yang universal statistikal, dan ada pula yang universal implikasional.

Apabila dilihat dari keuniversalan absolut, pemerolehan bahasa anak dimulai dari beberapa tahap. Menurut Tarigan,tahapan ini terdiri dari: tahap meraban (pralinguistik) pertama. Pada tahap meraban pertama, selama bulan-bulan awal kehidupan, bayi-bayi menangis, mendekut, mendeguk, menjerit, dan tertawa. Tahap berikutnya, tahap meraban (pralinguistik) kedua, Tahap ini disebut juga tahap kata omong-kosong, tahap kata tanpa makna. Awal tahap ini biasanya pada permulaan pertengahan kedua tahun pertama kehidupan. Tahap I : Tahap holofrastik (tahap linguistik pertama). Ini adalah tahap satu kata, yang mulai disekitar usia satu tahun. Tahap II : Ucapan-ucapan dua kata. Tahap linguistik kedua ini biasanya mulai menjelang hari ulang tahun kedua. Tahap III : Pengembangan tata bahasa. Tahap ini pada usia 2 tahun. Tahap IV : Tata bahasa menjelang dewasa, tahap ini anak-anak mulai dengan struktur-struktur tata bahasa yang lebih rumit; banyak di antaranya yang melibatkan gabungan kalimat-kalimat sederhana dengan komplementasi, relativisasi dan kongjungsi. Tahap ini dimulai sejak umur 2 sampai 3 tahun.(Tarigan, 1985:267)

Jika dilihat dari, keuniversalan statistikal maka pemerolehan bahasa anak dimulai dari anak itu dilahirkan kedua sampai dengan usia 2 tahun. Dardjowidjojo (2000:21) mengatakan bahwa pada masa statistikal inilah seorang anak mampu memperoleh bahasa sesuai dengan tingkat umurnya. Jika dilhat dari keuniversalan implikasional, seorang anak setelah memperoleh bahasa kemudian mengaplikasikannya melalui media bunyi. Apabila anak baru dilahirkan maka media yang biasa digunakannya untuk mengungkapkan kata-kata adalah berupa tangisan, mendekut, menjerit, bahkan tertawa. Jika anak telah berusia satu tahun ke atas, anak sudah mampu mengucapkan satu kata walaupun kata tersebut kurang begitu dimengerti oleh orang tua. Barulah pada usia dua tahun ke atas, anak sudah mulai mampu untuk mengucapkan beberapa kata yang membentuk kalimat yang dapat dimengerti orang dewasa.

Berdasarkan uraian di atas, terdapat permasalahan penelitian ini tertuju kepada pemerolehan sintaksis pada anak usia dua tahun Secara lebih khusus difokuskan pada pemerolehan kalimat bentuk interogratif, bentuk imperatif, dan bentuk deklaratif.. Permasalahan ini diangkat mengingat pada masa usia dua tahun perkembangan bahasa anak sangat cepat. Hal ini didasarkan kepada asumsi bahwa anak yang berusia dua tahun sudah mampu mengucapkan dua kata sekaligus, bahkan berselang dua bulan kemudian anak sudah mampu mengucapkan tiga, empat, sampai lima kata sekaligus dalam satu kalimat ujaran.

Psikolinguistik

Psikolinguistik sebagai suatu istilah ilmiah, lahir sejak tahun 1954, tahun penerbitan karya bersama Charles E. Osgood dan Thomas A. Sebeok, yang berjudul “Psicholinguistics, A Survey of Theory and Research Problems” di Bloomington.(Tarigan, 1985:2)

Robert Lado (1976:220) mengatakan bahwa psikolinguistik adalah pendekatan gabungan melalui psikologi dan linguistik bagi telaah atau studi pengetahuan bahasa, bahasa dalam pemakaian, perubahan bahasa, dan hal-hal yang ada kaitannya dengan itu yang tidak begitu mudah dicapai atau didekati melalui salah satu dari kedua ilmu tersebut secara terpisah atau sendiri-sendiri.

Selanjutnya Emmon Bach (1964:64) dengan singkat dan tegas menguitarakan bahwa psikolinguistik adalah suatu ilmu yang meneliti bagaimana sebenarnya para pembicara/pemakai sesuatu bahasa membentuk/membangun atau mengerti kalimat-kalimat bahasa tersebut. Lebih lanjut dikatakan Langacker (1958:5) psikolinguistik adalah studi atau telaah mengenai behavior atau perilaku linguistik yaitu formansi atau perbuatan dan perlengkapan atau aparat psikologis yang bertanggung jawab atasnya.

B. Keuniversalan Bahasa

Jika berbicara makna bahasa, maka akan terlintas dibenak wujud atau jenis bahasa yang ada di sekeliling maupun yang ada di dunia ini. Pada prinsipnya bahasa pastilah dimiliki/dikuasai oleh setiap manusia. Dengan bahasa, manusia dapat berkomunikasi dan beritegrasi dengan lingkungannya. Namun, penggunaan bahasa harus disesuai dengan tempat dimana bahasa itu digunakan.Hal seperti inilah yang disebut dengan keuniversalan bahasa.

Dalam hal ini Dardjowidjojo (2000:21) mengatakan bahwa Greenberg yang dapat dikatakan sebagai pelopor pertama dalam bidang ini bertitik tolak dari penelitian terhadap banyak bahasa dan dari bahasa-bahasa ini dia simpulkan secara induktif ihwal-ihwal yang terdapat pada semua bahasa, sebagian yang lain pada banyak bahasa, sebagian yang lain lagi pada beberapa bahasa, dan seterusnya. Lepas dari itu semua, pada dasarnya bahasa itu sama yaitu sebagai alat penyampaian pesan dari seorang pembicara kepada lawan berbicara baik lisan maupun tertulis.

C. Pemerolehan Bahasa

Berbicara mengenai pemerolehan bahasa, maka kita tidak dapat melepaskan diri dari perlengkapan pemerolehan bahasa atau acquisition device, yang merupakan suatu perlengapan hipotesis yang berdasarkan suatu input dta linguistik primer dari suatu bahasa, menghasilkan suatu output yang terdiri atas suatu tata bahasa adekuat secara deskriptif buat bahasa tersebut.(Tarigan, 1985:243)

Yassin (1991:120) mengatakan bahwa Teori pemerolehan bahasa yang selama ini dipengaruhi oleh tiga aliran,yaitu : (1) aliran behaviorisme; (2) aliran nativisme; dan (3) aliran interaksionisme positif. Aliran behaviorisme mengatakan bahwa pemerolehan bahasa tidak terlepas dari teori belajar. Motor aliran behaviorisme ini adalah Skinner yangmembagi duamacam proses belajar mengajar yang masing-masing melibatkan tingkah laku (behavior) yang berbeda, yaitu tingkah laku responden (respondent behavior) dan tingkah laku operan (operant behavior). Aliran nativisme dengan Chomsky sebagai orang yangpertama kali mempelopori teori ini mengatakan bahwa pemerolehan bahasa itu di dapat sejak manusia dilahirkan atau yang lebih dikenal dengan hipotesis bawaan. Lebih jauh dikatakannya bahwa bawaan bahasa (language faculty) yang bersifat genetis suatu komponen dalam otak manusia, merupakan bentuk tertentu dari gramatika yang dapat ditelusuri secara “manusiawi”. Lain halnya dengan aliran interaksionisme kognitif yang digawangi oleh Piaget yang mengatakan bahwa perkembangan kognitif anak-anak merupakan hasil dari inernalisasi “pengorganisasian alat dan hasil” dari aktivitas sensorimotor yang dicapai pada tahap awal perkembangan.

Krashen (1989:8) mengatakan bahwa “acqusition is a subconscious process that is identical to the process used in the first language acquistion ini all important ways” Selanjutnya, Ingram (1989:64) mengatakan bahwa teori pemerolehan bahasa sebenarnya terdiri dari dua komponen, yaitu: pertama adalah seperangkat prinsip yang mengacu pada konstruksi grammar dan menggantinya dengan tata aturan pada waktu berikutnya. Kedua adalah komponen proses psikologi anak dalam belajar bahasa.

Pemerolehan sintaksis tidak dapat dengan mudah memaparkan secara rinci dan tepat serta berani apa yang persisnya terjadi pada diri anak dalam ia menguasai sintaksis suatu bahasa. Di samping, titik pandang serta aliran keilmuan yang berbeda-beda, masalah yang dihadapi memang bukan masalah yang banyak kaitannya dengan neurobiologi manusia seperti halnya pada komponen fonologi.

METODOLOGI

Sesuai dengan fokus dan tujuan yang telah disampaikan pada bagian pendahuluan penelitian ini menggunakan pendekatan naturalistik, metode kualitatif, karena dilakukan pada latar alamiah. Moleong mendefinisikan “metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari orang-orang dan perilaku yang diamati.

Subyek penelitian ini adalah bernama Chintia Dewi yang sehari-hari dipanggil “Tia”. Dia dilahirkan pada tanggal 23 Desember 2001 di Rumah Sakit Umum Pershabatan Jakarta Timur dari pasangan orang tua, M. Igbal dengan Nurhayati.

Ayah Tia, M. Igbal berasal dari Koto Tuo Bukit Tinggi dan sedangkan ibunya Nurhayati berasal dari Sragen Jawa Tengah. M. Igbal bekerja sebagai Pegawai Ngeri Sipil di Pemda DKI Jakarta sedangkan Nurhayati sebagai ibu rumah tangga. Dengan latar belakang adat, suku, bahasa yang berbeda, mereka dalam kehidupan sehari-hari menggunakan bahasa Indonesia dengan interferensi bahasa Betawi. Interferensi bahasa Betawi dalam penggunaan bahasa Indonesia ini dapat terjadi dikarenakan dilingkungan sekitar rumah mereka terdapat warga asli betawi dan masyarakat yang telah lama tinggal di Jakarta sehingga mau tidak mau mereka menggunakan bahasa indonesia dengan campuran bahasa Betawi.

Dalam kesehariannya Tia merupakan anak yang periang dan supel terhadap siapa saja baik anak-anak maupun orang dewasa. Dengan keperiangan dan kesupelan ini, Tia seringkali diajak berbincang oleh siapa saja. Sehingga tidak heran penguasaan kosa katanya sangat berkembang.

Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Peneliti terjun langsung mengamati tingkah laku sehari-hari Tia. Sebelum diadakan pengamatan, peneliti meminta izin kepada orang tua tia mengenai ihwal Tia dijadikan subyek penelitian. Artinya, pengumpulan data penelitian akan sangat bergantung kepada peneliti sebagai alat pengumpulan data.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik observasi dan partisipan, yang digunakan untuk mengumpulkan data tentang pemerolehan sintaksis anak usia dua tahun. Peneliti melakukan pengamatan langsung pada saat proses pemerolehan sintaksis, yaitu perbincangan antara Tia dengan orangtuanya, saudaranya ataupun dengan lingkungannya.

Langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti dalam menganalisis data adalah

1. Mendeskripsikan data rekaman perbincangan antara Tia dengan orang tuanya, saudaranya, maupun lingkungannya.

2. Memilah-milah jenis kalimat yang telah diucapkan Tia dengan mengkategorikan kalimat yang berbentuk deklaratif, imperatif, dan introgatif

3. Mnginterpretasikan data yang telah didapat sesuai dengan permasalahan yang dianalisis.

4. Merumuskan dan menyimpulkan hasil analisis yang telah diperoleh.

Dalam pemeriksaan data digunakan teknik triangulasi data. Moleong mengatakan triangulasi dengan sumber dilakukan dengan membandingkan dan mencek balik derajat kepercayaan suatu informasi yakni membandingkan data hasil penelitian. Untuk pemeriksaan keabsahaan data ini, peneliti mengadakan triangluasi data dengan teman sejawat yang mengetahui proses pemerolehan bahasa anak usia 2 tahun.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Pemerolehan Kalimat Deklaratif

Ketika Tia akan tidur, baik itu tidur siang maupun tidur malam, seringkali orangtuanya lupa memberikan susu. Menurut ibunya apabila Tia mau tidur pasti ia akan minta susu. Jika ibunya ingat, maka ia langsung membuatkan susu, tetapi bila tidak ingat maka Tia biasanya yang meminta untuk dibuatkan susu. Pada suatu siang peneliti mengamati Tia, kebetulan sekali dia akan tidur siang. Ternyata ibunya lupa membuatkan susu, maka Tia langsung mengucapkan kalimat:

(a) Bu, num cucu bu! (Bu, minum susu, bu!)

Pada kesempatan yang lain, biasanya pagi hari, Tia sudah bangun dari tidur, dia minta untuk dihidupkan TV.Tia biasanya mengucapkan kalimat:

(b) Kak, idup ivi! (kakak, hidupkan tivi)

Tia paling suka dengan film kartun dan lagu anak-anak. Apabila sudah ada acara itu, Tia biasanya suka berlama-lama di depan TV. Pada suatu kesempatan, saat asyik menonton film kartun, tiba-tiba kakaknya memindahkan channel ke acara yang lain. Serta merta Tia langsung mengucapkan kalimat sebagai berikut:

(c) lem adi aja! Lem adi aja! (film tadi saja!)

2. Kalimat Imperatif

Apabila dilihat dari kalimat yang diproduksi Tia, terlihat bahwa kalimatnya sudah cukup lengkap dari segi pola strukturnya. Namun, dalam kesempurnaan bunyi masih kurang sempurna. Hal ini dimaklumi, mengingat pada usia dua tahun sistem artikulasi anak-anak masih belum sempurna. Untuk melihat kalimat imperatif yang diucapkan Tia berikut ini akan dideskripsikan kalimat tersebut.

(a) Ucing acuk umah Ia (Kucing masuk rumah Tia)

(b) Bang, li emen (Bang, beli permen)

(c) Ulang yuk bu (Ayo kita pula bu)

(d) Ia au mam bu (Tia mau makan bu)

3. Kalimat Interogatif

Kalimat interogatif biasanya diucapkan Tia apabila di sedang menonton TV. Kalimat ini biasanya diproduksi oleh Tia apabila dilihatnya ada yang aneh pada acara TV tersebut. Hal ini tidak terfokus kepada acara film atau musik anak-anak saja, lebih jauh sering ditanyakan hal-hal lain yang ada di acara yang bukan kosumsi dirinya. Biasanya kalimat yang diucapkannya, yaitu:

(a) Pa tu pa? (Apa itu pa?)

(b) Antu itu ya bu? (Hantu itu ya bu?)

Pernah suatu sore Tia bersama Bapak dan Ibunya duduk-duduk diberanda rumah, tiba-tiba secara spontan Tia bertanya kepada Bapaknya:

(c) Pa idak eja agi ya? (papa tidak kerja lagi ya?

B. Pembahasan

Berdasarkan deskripsi data di atas,jika dilihat dari pemerolehan kalimat deklaratif, terlihat kalimat-kalimat yang diucapkan masih terpotong-potong dan ucapannyapun masih belum sempurna. Namun secara gramatikal, kalimat-kalimat tersebut sudah dapat digolongkan dalam bentuk kalimat lengkap. Hal ini ditandai dengan lengkapnya pola kalimat seperti subyek + predikat + obyek. Hal ini terlihat pada kalimat /Bu, num cucu bu! (Bu, minum susu, bu!)/ kalimat ini jika dilihat secara gramatikal dapat dimengerti dengan melihat rangkaian kalimat perintah atau kalimat sebelumnya. Begitu juga pada kalimat / lem adi aja! Lem adi aja! (film tadi saja!)/.

Apabila diperhatikan kalimat-kalimat imperatif yang diucapkan Tia, maka kalimat imperatif sudah mempunyai makna lengkap. Seperti ungkapan sebelumnya, ucapan-ucapan fonem masih belum sempurna sedangkan logika kalimat imperatifnya kadang-kadang belum berurutan sesuai dengan kaidah-kaidah imperatif. Walaupun demikian, dari susunan kalimatnya, sudah dapat dikatakan bahwa dalam percakapan atau dalam situasi tertentu, kalimat seperti itu lazim apalagi dalam ragam tidak formal khususnya dalam pemerolehan bahasa anak.

Dari kalimat interogatif di atas, terlihat bahwa pemerolehan dan produksi kalimat Tia sudah nampak dapat diucapkan tanpa berpikir. Hal ini menunjukkan bahwa kalimat semacam itu sudah diperolehnya dan dengan mudah diproduksinya.

Kesimpulan dan Implikasi

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa:

  1. Pada usia 2 tahun, Tia sudah dapat mengucapkan dua kata, tiga, bahkan sampai lima sekaligus. Patut untuk diperhatikan ternyata kemampuan memperoleh kata-kata baru Tia sangat mengagumkan. Ini terlihat dengan kemampuannya menanyakan kalimat yang tidak terpikirkan sebelumnya oleh orang dewasa/orang tua.
  2. Pada usia ini, kata-kata yang diproduksi adalah masih terpotong-potong dan lengkap. Artinya, kalimat yang diucapkan Tia hanya berupa kata-kata yang sepenggal saja. Namun sebagai orang tua/dewasa, kita sudah mengetahui maksud dari kata-kata tersebut. Lengkap yang dimaksud disini adalah kalimat-kalimat itu jika dilihat dari struktur/pola kalimatnya sudah lengkap yang terdiri dari subyek + predikat.

B. Implikasi

Berdasarkan hasil analisis data dan kesimpulan di atas dapat ditarik implikasi sebagai berikut:

Proses penyerapan bahasa pada anak dapat terjadi melalui pemerolehan bahasa. Pemerolehan ini dapat terjadi melalui interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Pemerolehan bahasa pada anak dapat terjadi secara alamiah. Anak memperoleh bahasa setelah dia mendengar apa yang diucapkan oleh orang tuanya.

Salah satu cara yang dilakukan oleh orang tua untuk meningkatkan penguasaan kosa kata pada anak usia 1-3 tahun adalah dengan menerapkan teori prototipe seperti yang dikembangkan oleh Eleanor Rocch dalam Ingram. Teori prototipe mengusulkanbahwa fitur-fitur yang diberikan pada satu kata adalah fitur yang paling dekat dengan benda tersebut.Misalnya kata /bola/, fitur terdekatnya adalah benda yang dilemparkan dan digunakan untuk bermain bukan untuk yang lain. Untuk itu, teori ini mengatakan ada dua cara untuk mengembangkan kemampuan pemerolehan bahasa pada anak, yaitu:

  1. Kategori umum ke khusus (general to spesific categories), Misalnya; kata /bola/, secara umum anak mengenal bola merupakan benda bulat kemudian secara bertahap menyempit. Bola adalah benda bulat untuk dilemparkan.
  2. Kategori khusus umum, (spesific to general categories). Misalnya, pada awalnya anak mengenal /bola/ yang berwarna biru. Semua benda bulat yang berwarna bru disebut bola. Kemudia secara bertaha anak dapat mengenal bahwa bola ada juga yang berwarna bukan biru.

DAFTAR PUSTAKA

Aitchison, Jean, The Seeds of Speech: Language Origion and Evolution, Cambridge: Cambridge University Press, 1996.

Bach, Emmon, An Introduction to Transformational Grammars, New York : Holt, Rinehart an Winston, 1964.

comrie, Bernard, Language Universal and Linguistics Typology, Oxford: Basil Blackwell Ltd.,1989.

Dardjowidjojo, Soenjono, ECHA : Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia, Jakarta : Gramedia, 2000.

Ingram, David, First Language Acquisition Method, description, and Explanation, Cambridge: Cambridge University Press, 1989.

Krashen, Stephen D., Language Acquisition and language Education, Extension and Application, Prentice Hall International, BPCC Wheatons Ltd. Exeter, 1989.

lado, Robert Language Teaching Bombay, New delhi: Tata Mc Graw-Hill, 1976.

Langacker, Ronald W., Language and Its Structure, Some Fundamental Conpepts, New York : Harcourt, Brace and World, 1968.

Moleong, Lexy J. Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1989.

Tarigan, Henry Guntur, Psikolinguistik, Bandung : Angkasa, 1985.

Yassin, Anas, Gramatika Komunikatif : Sebuah Model, Disertasi Malang : PPs IKI PMalang, 1991.