Selasa, 21 Juni 2011

PAKEM

A. Hakikat PAKEM

PAKEM merupakan salah satu pilar dari program MBS (Menciptakan masyarakat yang peduli pendidikan anak) dan program ini merupakan program UNESCO dengan bekerja sama dengan Depdiknas.PAKEM adalah singkatan dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan.
Aktif dimaksudkan bahwa dalam proses pembelajaran guru harus menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga siswa aktif bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan. Belajar harus merupakan suatu proses aktif dari siswa dalam membangun pengetahuannya, bukan hanya proses pasif yang hanya menerima penjelasan dari guru tentang pengetahuan. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Vigotsky bahwa ada keterkaitan antara bahasa dan pikiran. Dengan aktif berbicara (diskusi) anak lebih mengerti konsep atau materi yang dipelajari. Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh Katz dan Chard bahwa anak perlu keterlibatan fisik untuk mencegah mereka dari kelelahan dan kebosanan. Siswa yang lebih banyak duduk diam akan menghambat perkembangan motorik, akademik, dan kreativitasnya.
Anak usia TK dan SD lebih cepat lelah jika duduk diam dibandingkan kalau sedang berlari, melompat, atau bersepeda Akan tetapi,dengan belajar yang aktif, motorik halus dan motorik kasar mereka akan berkembang dengan baik. Melalui belajar aktif segala potensi anak dapat berkembang secara optimal dan memberikan peluang siswa untuk aktif berbuat sesuatu sambil sambil mempelajari berbagai pengetahuan.(Sowars, 2000 : 3-10)
Oleh karena itu, proses belajar harus melibatkan semua aspek kepribadian manusia, yaitu mulai dari aspek yang beruhubungan dengan pikiran, perasaan, bahasa tubuh, pengetahuan, sikap, dan keyakinan. Menurut Magnesen dalam Dryden bahwa dalam belajar siswa akan memperoleh 10% dari apa yang dibaca, 20% dari apa yang didengar, 30% dari apa yang dilihat, 50% dari apa yang dilihat dan didengar, 70% dari apa yang dikatakan dan 90% dari apa yang dikatakan dan dilakukan.(Dryden,2000: 100)
Unsur kedua dari PAKEM adalah kreatif. Kreatif artinya memiliki daya cipta, memiliki kemampuan untuk berkreasi. (Silberman, 1996: 9). Peran aktif siswa dalam proses pembelajaran akan menghasilkan generasi yang kreatif, artinya generasi yang mampu menghasilkan sesuatu untuk kepentingan dirinya dan orang lain. Kreatif juga dimaksudkan agar guru menciptakan kegiatan kegiatan belajar yang beragam sehingga memenuhi berbagai tingkat kemampuan siswa. Menurut Semiawan daya kreatif tumbuh dalam diri seseorang dan merupakan pengalaman yang paling mendalam dan unik bagi seseorang. Untuk menimbulkan daya kreatif tersebut diperlukan suasana yang kondusif yang menggambarkan kemungkinan tumbuhnya daya tersebut.(1999 : 66). Suasana kondusif yang dimaksud dalam PAKEM adalah uasana belajar yang memberi kesempatan kepada siswa untuk terlibat secara aktif dan memberi kesempatan pada siswa untuk dapat mengemukakan gagasan dan ide tanpa takut disalahkan oleh guru.
Adapun pembelajaran yang efektif terujud karena pembelajaran yang dilaksanakan dapat menumbuhkan daya kreatif bagi siswa sehingga dapat membekali siswa dengan berbagai kemampuan. Setelah proses pembelajaran berlangsung, kemampuan yang diperoleh siswa tidak hanya berupa pengetahuan yang bersifat verbalisme namun diharapkan berupa kemampuan yang lebih bermakna. Artinya siswan dapat mengembangkan berbagai potensi yang ada dalam diri siswa sehingga menghasilkan kemampuan yang beragam.
Belajar yang efektif dapat dicapai dengan tindakan nyata (learning by doing) dan untuk siswa kelas rendah SD dapat dikemas dengan bermain. Bermain dan bereksplorasi dapat membantu perkembangan otak, berbahasa, bernalar, dan bersosialisasi.
Menyenangkan adalah suasana pembelajaran yang menyenangkan sehingga siswa memusatkan perhatiannya secara penuh pada belajar sehingga waktu curah perhatiannya tinggi. Menurut hasil penelitian, tingginya perhatian siswa terbukti dapat meningkatkan hasil belajar. Keadaan aktif dan menyenangkan tidaklah cukup jika proses pembelajaran tidak efektif yang tidak menghasilkan apa yang harus dikuasai siswa secara proses pembelajaran berlangsung, sebab siswa memiliki sejumlah tujuan pembelajaran yang harus dicapai,. Jika pembelajaran hanya aktif dan menyenagkan tetapi tidak efektif, maka pembelajaran tersebut tidak ubahnya sepertu bermain biasa. Kelas yang sunyi, anak sebagai pendengar pasif, tidak ada aktivitas konkrit membosankan dan belajar tidak efektif tidak kritis, tidak kreatif, komunikasi buruk, apatis.
Kondisi yang menyenangkan, aman, dan nyaman akan mengaktifkan bagian neo-cortex (otak berpikir) dan mengoptimalkan proses belajar dan meningkatkan kepercayaan diri anak. Suasana kelas yang kaku, penuh beban, guru galak akan menurunkan fungsi otak menuju batang otak dan anak tidak bisa berpikir efektif, reaktif atau agresif.(Pancamegawani, 2006)
Berdasarkan uraian di atas dapat dideskripsikan bahwa dalam pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan siswa terlibat dalam berbagai kegiatan pembelajaran yang dapat mengembangkan pemahaman dan kemampuan mereka melalui berbuat atau melakukan. Kemudian dalam PAKEM guru menggunakan berbagai alat bantu atau media dan berbagai metode. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa dalam PAKEM guru menggunakan multi media dan multi metode, sehingga kegiatan pembelajaran yang tecipta dapat membangkitkan semangat siswa dan dapat mengembangkan berbagai potensi yang ada dalam diri siswa. Yang tidak kalah pentingnya adalah PAKEM menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar untuk menjadikan siswan menarik, menyenangkan, dan cocok bagi siswa.
Untuk penataan kelas dalam PAKEM guru mengatur kelas dengan memajang buku-buku dan bahan belajar yang lebih menarik dan menyediakan pojok baca. Dengan demikian siswa dapat memanfaatkan sumber belajar yang ada dalam kelas sehingga kemampuan anak dapat bekembang lebih optimal.
Dalam strategi pembelajaran guru menerapkan cara mengajar yang lebih kooperatif dan interaktif termasuk cara belajar kelompok. Guru mendorong siswa untuk menemukan caranya sendiri dalam pemecahan suatu masalah, untuk mengungkapkan gagasannya dan melibatkan siswa dalam menciptakan lingkungan sekolahnya.
Landasan yuridi PAKEM adalah Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik (PP 19/2005: Standar Nasional Pendidikan, ps 19, ayat 1)

Minggu, 12 Juni 2011

PENGEMBANGAN MODEL SISTEM PENILAIAN BERBASIS KELAS DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH DASAR

PENGEMBANGAN MODEL SISTEM PENILAIAN BERBASIS KELAS DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
DI SEKOLAH DASAR


ABSTRAK
Tujuan jangka panjang dari penelitian ini adalah agar guru-guru memiliki kompetensi profesional dalam melaksanakan penilaian. Mengingat penilaian merupakan salah satu komponen penting dalam menentukan keberhasilan pendidikan. Adapun target langsung yang ingin dicapai adalah menghasilkan model sistem penilaian berbasis kelas yang berorientasi pada pencapaian standard kompetensi berbahasa Indonesia. Model sistem penilaian berbasis kelas yang akan dihasilkan ini sangat bermanfaat bagi para guru sekolah dasar, mengingat perubahan kurikulum akan lebih bermakna bila diikuti dengan perubahan praktik-praktik pembelajaran di kelas yang dengan sendirinya akan mengubah praktik-praktik penilaian.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian dan pengembangan (Research and Development). Kegiatan penelitian secara operasional dilakukan dalam jangka waktu dua tahun. Kegiatan penelitian yang dilakukan pada tahap pertama, adalah studi pendahuluan dan pengembangan model. Pada tahap studi pendahuluan, dilakukan studi lapangan dan studi literatur yang bertujuan untuk menentukan need assessment dalam kaitannya dengan pelaksanaan penilaian berbasis kelas dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Hasil studi pendahuluan dijadikan dasar bagi perumusan dan pengembangan model, yang kemudian dilakukan uji kelayakan model.
Hasil yang diperoleh pada tahap pertama ini adalah (1) profil lapangan yang menggambarkan bahwa pada umumnya guru masih belum memahami dengan baik tentang sistem penilaian berbasis kelas. (2) Kerangka awal model sistem penilaian berbasis kelas yang bersifat komunikatif, yang meliputi tiga tahap, yaitu (a) tahap perencanaan merupakan langkah persiapan yang harus dilakukan oleh guru yang akan melakukan penilaian, (b) tahap pengumpulan data yang meliputi kegiatan pengumpulan informasi yang diperlukan, dan kegiatan analisis dan pencatatan informasi yang diperoleh, dan (c) tahap penilaian meliputi kegiatan pembuatan pertimbangan dan pengambilan keputusan, yang ditindaklanjuti dengan kegiatan pelaporan terhadap pihak-pihak terkait. (3) Kerangka awal pedoman pengembangan model sistem penilaian berbasis kelas yang dirancang agar dapat memberikan arahan-arahan yang bersifat praktis dalam pengembangan model sistem penilaian berbasis kelas dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Secara garis besar, pedoman ini meliputi empat bagian, yaitu bagian pendahuluan meliputi latar belakang, tujuan, ruang lingkup, dan sasaran. Bagian dua berisi konsep dasar sistem penilaian berbasis kelas, yang meliputi pengertian, manfaat, prinsip, dan rambu-rambu. Bagian tiga, berisi teknik penilaian yang meliputi penentuan standar, indikator, teknik penilaian, dan cara penilaian. Bagian keempat, membahas tentang pelaporan hasil penilaian meliputi pengertian, bentuk pelaporan, dan teknik pelaporan. Saran yang dikemukakan adalah bahwa hasil penelitian ini perlu dilakukan uji coba lebih luas untuk menguji keterandalannya.
Kata Kunci : Penilaian Berbasis Kelas dalam Pembelajaran Bahasa Indinesia
A. Pendahuluan

Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 57 menyatakan bahwa (1) evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, (2) evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan. Sementara dalam pasal 58 ayat (1) menyatakan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.
Isi undang-undang tersebut, pada dasarnya mengisyaratkan bahwa fungsi penilaian di dalam pendidikan tidak dapat dilepaskan dari tujuan penilaian itu sendiri. Sebagaimana dilihat dari hakikat penilaian adalah suatu upaya untuk mengetahui ketercapaian tujuan-tujuan pendidikan. Suatu proses pembelajaran yang dilaksanakan dalam suatu satuan pendidikan tidak akan dapat diketahui hasilnya apabila guru tidak mampu melakukan pengukuran hasil belajarnya. Dengan dilakukannya pengukuran hasil belajar, guru akan mengetahui keberhasilan belajar peserta didiknya dan menjadi umpan balik bagi guru dan peserta didik dalam melaksanakan proses pembelajaran selanjutnya. Dalam hakikat penilaian tersebut tersirat bahwa tujuan penilaian ialah untuk mendapatkan data pembuktian yang akan menunjukkan sampai di mana tingkat kemampuan dan keberhasilan peserta didik dalam pencapaian tujuan-tujuan kurikuler. Di samping itu, juga dapat digunakan oleh guru-guru dan para pengawas pendidikan untuk mengukur atau menilai sampai di mana keefektifan pengalaman-pengalaman belajar, kegiatan-kegiatan belajar, dan metode-metode pembelajaran yang digunakan. Dengan demikian, dapat dikatakan betapa penting peranan dan fungsi penilaian itu dalam proses belajar-mengajar.
Dalam arti luas, penilaian atau evaluasi adalah suatu proses merencanakan, memperoleh, dan menyediakan informasi yang sangat diperlukan untuk membuat alternatif-alternatif keputusan. Sesuai dengan pengertian tersebut, maka setiap kegiatan penilaian merupakan suatu proses yang sengaja direncanakan untuk memperoleh informasi atau data dan berdasarkan data tersebut kemudian dicoba membuat suatu keputusan. Dalam hubungannya dengan kegiatan pembelajaran, evaluasi adalah suatu proses yang sistematis untuk menentukan atau membuat keputusan sampai sejauh mana tujuan-tujuan pembelajaran telah dicapai oleh peserta didik.
Secara rinci, fungsi penilaian dalam pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi empat fungsi, yaitu (a) untuk mengetahui kemajuan dan perkembangan serta keberhasilan peserta didik setelah mengalami atau melakukan kegiatan belajar selama jangka waktu tertentu. Hasil penilaian ini selanjutnya dapat digunakan untuk memperbaiki cara belajar peserta didik (fungsi formati), dan untuk menentukan kenaikan kelas atau untuk menentukan lulus-tidaknya seorang peserta didik dari suatu lembaga pendidikan tertentu (fungsi sumatif); (b) untuk mengetahui tingkat keberhasilan program pembelajaran. pembelajaran sebagai suatu sistem terdiri atas beberapa komponen yang saling berkaitan satu sama lain. komponen-komponen yang dimaksud antara lain ialah tujuan, materi atau bahan pembelajaran, metode dan kegiatan belajar-mengajar, alat dan sumber belajar, dan prosedur serta alat penilaian; (c) untuk keperluan bimbingan dan konseling, terutama untuk mengetahui hal-hal apa seorang peserta didik atau sekelompok peserta didik memerlukan pelayanan remedial, sebagai dasar dalam menangani kasus-kasus tertentu di antara peserta didik; dan sebagai acuan dalam melayani kebutuhan-kebutuhan peserta didik dalam rangka bimbingan karir; (d) untuk keperluan pengembangan dan perbaikan kurikulum sekolah. Hal ini berkaitan dengan kegiatan guru dalam melaksanakan kegiatan evaluasi dalam rangka menilai keberhasilan belajar peserta didik dan menilai program pembelajaran, yang berarti pula menilai ketercapaian kompetensi yang telah ditetapkan dalam kurikulum.
Terkait dengan penilaian dalam pembelajaran bahasa Indonesia, mengapa menjadi sangat penting dilakukan oleh guru. Salah satu alasannya adalah karena pendidikan bahasa Indonesia di sekolah dasar bertujuan mengembangkan kemampuan berbahasa Indonesia siswa sesuai dengan fungsi bahasa sebagai wahana berpikir dan wahana berkomunikasi untuk mengembangkan potensi intelektual, emosional, dan sosial. Bahasa sangat fungsional dalam kehidupan manusia, karena selain merupakan alat komunikasi yang paling efektif, berpikir pun menggunakan bahasa. Begitu pentingnya kemampuan berbahasa, sehingga masalah kemampuan berbahasa khususnya kemampuan baca-tulis atau literasi (melek huruf) menurut Azies dan Alwasilah (1997: 12) dan Akhadiah (1992: 18) di seluruh dunia masalah literasi atau melek huruf ini merupakan persoalan manusiawi sepenting dan semendasar persoalan pangan dan papan. Untuk itu, maka menurut Gani (1995: 1) proses pendidikan bahasa sejak di sekolah dasar harus mampu mewujudkan lulusan yang melek huruf dalam arti yang lebih luas yaitu melek teknologi dan melek pikir yang keseluruhannya juga mengarah pada melek kebudayaan. Sementara menurut Longstreet, dkk (1993: 298) “… the mastery of language skills is a prerequisite to over-all academic success at every stage of development from childhood to adult years.” Begitu pentingnya keberhasilan pembelajaran bahasa Indonesia, maka untuk melihat keberhasilan pembelajaran bahasa Indonesia, memerlukan sistem penilaian yang tepat, akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana model sistem penilaian berbasis kelas yang relevan dengan tuntutan pelaksanaan kurikulum mata pelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar? Untuk memecahkan masalah tersebut, maka pada tahun pertama yang menjadi pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana kondisi lapangan dalam mengembangkan sistem penilaian berbasis kelas dalam pembelajaran bahasa Indonesia?
2. Model sistem penilaian berbasis kelas yang bagaimana yang sesuai dengan tuntutan pelaksanaan kurikulum mata pelajaran bahasa Indonesia untuk sekolah dasar?
3. Pedoman yang bagaimana yang dapat menjadi petunjuk praktis bagi guru dalam implementasi model sistem penilaian berbasis kelas dalam pelaksanaan kurikulum mata pelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar?



C. Studi Pustaka
1. Pembelajaran Bahasa Indonesia
Standar kompetensi yang harus dicapai melalui pembelajaran Bahasa Indonesia adalah meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomununikasi dalam Bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tulisan serta menimbulkan penghargaan terhadap hasil cipta manusia Indonesia. Standar kompetensi tersebut dimaksudkan agar peserta didik siap mengakses situasi multiglobal lokal yang berorientasi pada keterbukaan dan kemasadepanan. Untuk itu, maka guru harus dapat membantu mereka membangun berbagai strategi komunikasi yang membuat mereka dapat menghadapi situasi kritis yang akan mereka hadapi.
Terkait dengan kompetensi yang harus dicapai melalui pembelajaran bahasa Indonesia, secara khusus pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar bertujuan mengembangkan kemampuan berbahasa Indonesia siswa sesuai dengan fungsi bahasa sebagai wahana berpikir dan wahana berkomunikasi untuk mengembangkan potensi intelektual, emosional, dan sosial. Bahasa sangat fungsional dalam kehidupan manusia, karena selain merupakan alat komunikasi yang paling efektif, berpikir pun menggunakan bahasa. Begitu pentingnya kemampuan berbahasa, sehingga masalah kemampuan berbahasa khususnya kemampuan baca-tulis atau literasi (melek huruf) menurut Azies dan Alwasilah (1997: 12) dan Akhadiah (1992: 18) di seluruh dunia masalah literasi atau melek huruf ini merupakan persoalan manusiawi sepenting dan semendasar persoalan pangan dan papan. Untuk itu, maka menurut Gani (1995: 1) proses pendidikan bahasa sejak di sekolah dasar harus mampu mewujudkan lulusan yang melek huruf dalam arti yang lebih luas yaitu melek teknologi dan melek pikir yang keseluruhannya juga mengarah pada melek kebudayaan.

2. Penilaian dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia
Untuk mengukur keberhasilan pembelajaran ini, terdapat model-model penilaian pembelajaran keterampilan berbahasa baik lisan maupun tulis. Menurut Sugito (Santosa, 2003) penilaian pembelajaran keterampilan berbahasa lisan, meliputi penilaian menyimak dan berbicara, sementara penilaian keterampilan berbahasa tulis meliputi penilaian keterampilan membaca dan menulis. Sementara menurut Soegito (Santosa, 2003) dan menurut Oller ( Rofi’uddin, 1999) jenis-jenis tes yang dapat digunakan untuk menilai kemamampuan berbahasa banyak ragamnya, seperti jenis tes untuk penilaian pembelajaran menyimak, di antaranya tes respons terbatas, tes respons pilihan ganda, tes komunikasi luas, dan dikte. Sementara dalam penilaian kemampuan berbicara terdapat jenis tes, yaitu tes respon terbatas, tes terpadu, dan tes wawancara, tes kemampuan berbicara berdasarkan gambar, bercerita, diskusi, dan tes ujaran terstruktur, seperti mengatakan kembali, membaca kutipan, mengubah kalimat, dan membuat kalimat.
Adapun model penilaian dalam pembelajaran keterampilan berbahasa tulis mencakup penilaian membaca dan menulis. Aspek penting dalam penilaian membaca adalah pemahaman. Jenis-jenis tes yang dapat digunakan untuk menguji kemampuan membaca peserta didik SD, di antaranya adalah tes pemahaman kalimat dan tes pemahaman wacana, tes cloze, menceritakan kembali, tes meringkas, tes subjektif, dan tes objektif. Sementara penilaian menulis, di antaranya meliputi tes pratulis, tes menulis terpadu, dan tes menulis bebas, tes menulis berdasarkan rangsangan gambar, tes menulis berdasarkan rangsangan suara, tes menulis dengan rangsangan buku, tes menulis laporan. Dengan demikian, maka penilaian dalam pembelajaran bahasa Indonesia dapat dilakukan dengan pengamatan (nontes) dan pengukuran (tes). Kedua macam penilaian ini, dapat digunakan untuk saling melengkapi sehingga dapat memberikan gambaran hasil belajar peserta didik secara lengkap dan holistik.
Penilaian Berbasis Kelas (PBK) merupakan salah satu komponen kurikulum yang memuat prinsip, sasaran dan pelaksanaan penilaian berkelanjutan yang lebih akurat dan konsisten sebagai akuntabilitas publik melalui identifikasi kompetensi/hasil belajar yang telah dicapai, pernyataan yang jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai serta peta kemajuan belajar siswa dan pelaporan. PBK dilakukan untuk memberikan keseimbangan pada ketiga ranah kognitif, afektif, dan psikomotor dengan menggunakan berbagai bentuk dan model penilaian secara resmi maupun tidak resmi dengan berkesinambungan.
PBK merupakan suatu proses pengumpulan, pelaporan dan penggunaan informasi tentang hasil belajar peserta didik dengan menerapkan prinsip-prinsip penilaian, pelaksanaan berkelanjutan, bukti-bukti otentik, akurat dan konsisten sebagai akuntabilitas publik. PBK mengidentifikasi pencapaian kompetensi dan hasil belajar yang dikemukakan melalui pernyataan yang jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai disertai dengan peta kemajuan belajar peserta didik dan pelaporan. PBK menggunakan arti penilaian sebagai “assessment” yaitu kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh dan mengefektifkan informasi tentang hasil belajar peserta didik pada tingkat kelas selama dan setelah kegiatan belajar mengajar. Data atau informasi dari penilaian ini merupakan salah satu bukti yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan suatu program pendidikan. Dengan demikian, maka PBK merupakan penilaian yang dilaksanakan terpadu dengan kegiatan belajar mengajar di kelas (berbasis kelas) melalui pengumpulan kerja peserta didik (portfolio), hasil karya (produk), penugasan (proyek), kinerja (performance), dan tertulis (paper and pen).
PBK yang dilakukan guru secara terpadu dengan kegiatan pembelajaran berguna untuk (a) umpan balik bagi peserta didik dalam mengetahui kemampuan dan kekurangannya sehingga menimbulkan motivasi untuk memperbaiki hasil belajarnya; (b) memantau kemajuan dan mendiagnosis kemampuan belajar peserta didik sehingga memungkinkan dilakukannya pengayaan dan remediasi untuk memenuhi kebutuhan peserta didik sesuai dengan kemajuan dan kemampuannya; (c) memberikan masukan bagi guru untuk memperbaiki program pembelajarannya di kelas; (d) memungkinkan peserta didik mencapai kompetensi yang telah ditentukan walaupun dengan kecepatan belajar yang berbeda-beda; (e) memberikan informasi yang lebih komunikatif kepada masyarakat tentang efektivitas pendidikan sehingga mereka dapat meningkatkan partisipasinya di bidang pendidikan.
Dilihat dari keterkaitan antara penilaian berbasis kelas dengan proses belajar mengajar bahasa Indonesia, bahwa penilaian mempersyaratkan adanya keterkaitan langsung dengan aktivitas proses pembelajaran. Demikian pula, proses belajar mengajar akan berjalan efektif apabila didukung oleh penilaian berbasis kelas yang efektif oleh guru. Penilaian merupakan bagian integral dari proses belajar mengajar. Kegiatan penilaian harus dipahami sebagai kegiatan untuk mengefektifkan proses belajar mengajar agar sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Stigging (Furqon, 2001) bahwa “Assessment as instruction”, maksudnya bahwa “Assessment and teaching can be one and the same”. Dengan demikian penilaian pembelajaran bahasa Indonesia harus dilakukan guru secara terencana, sistematik, dan berkesinambungan sebagai strategi dalam quality assurance.
Keterkaitan dan keterpaduan antara penilaian dan proses belajar mengajar dapat digambarkan pada siklus di bawah ini.

Rencana Mengajar


Analisis & Proyek
Umpan Balik Belajar Mengajar


Penilaian
Berbasis Kelas

Siklus Proses Belajar Mengajar dan Penilaian

Gambar di atas menunjukkan bahwa langkah yang guru lakukan dalam rangkaian aktivitas pengajaran meliputi rencana mengajar, proses belajar mengajar, penilaian, analisis dan umpan balik. Dalam siklus pembelajaran, hal pertama yang harus dilakukan oleh guru adalah menyusun rencana mengajar. Dalam menyusun rencana mengajar ini hal-hal yang harus dipertimbangkan meliputi rincian komponen yang harus dicapai peserta didik, cakupan dan kedalaman materi, indikator pencapaian kompetensi, pengalaman belajar yang harus dialami peserta didik, persyaratan sarana belajar yang diperlukan, dan metode serta prosedur untuk menilaian ketercapaian kompetensi.
Setelah rencana pengajaran tersusun dengan baik, guru melakukan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana tersebut. Hal yang paling penting untuk diperhatikan dalam proses belajar mengajar ini adalah adanya interaksi yang efektif antara guru, peserta didik dan sumber belajar lainnya sehingga menjamin terjadinya pengalaman belajar yang mengarah ke pencapaian kompetensi oleh peserta didik. Untuk mengetahui dengan pasti ketercapaian kompetensi dimaksud, guru melakukan penilaian secara terarah dan terprogram. Penilaian harus digunakan sebagai proses untuk mengukur dan menentukan tingkat ketercapaian kompetensi, dan sekaligus untuk mengukur efektivitas proses belajar mengajar. Untuk itu, penilaian yang efektif harus diikuti oleh kegiatan analisis terhadap hasil penilaian dan merumuskan umpan balik yang perlu dilakukan dalam perencanaan proses belajar mengajar berikutnya. Dengan demikian, rencana mengajar yang disiapkan guru untuk siklus proses belajar mengajar berikutnya harus didasarkan pada hasil dan umpan balik penilaian sebelumnya. Jika dilakukan, maka kegiatan belajar mengajar yang dilakukan sepanjang semester dan tahun pelajaran merupakan rangkaian dari siklus proses belajar mengajar yang saling berkesinambungan.
Dilihat dari kesejarahannya, penilaian dalam pembelajaran bahasa dapat dipilah menjadi tiga kategori, yangni penilaian yang menggunakan pendekatan diskrit, integratif, dan pragmatik/komunikatif. Penilaian pembelajaran bahasa dengan pendekatan diskrit, menurut Oller (Rofi’uddin, 1994) merupakan penilaian yang hanya menekankan atau menyangkut satu aspek kebahasaan. Jika dalam kebahasaan dikenal adanya aspek fonologi, morfologi, sintaksis, maka akan dijumpai adanya penilaian tentang fonologi, morfologi, dan sintaksis. Selain itu, dalam keterampilan berbahasa dikenal adanya keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan keterampilan menulis. Oleh karena itu, juga dapat dijumpai adanya penilaian menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Penilaian pembelajaran bahasa dengan pendekatan integratif, kemunculannya sebagai reaksi terhadap penilaian diskrit yang dianggap memiliki banyak kelemahan. Tes integratif merupakan penilaian kebahasaan yang digunakan untuk mengukur beberapa aspek kemampuan atau keterampilan berbahasa. Dalam tes integratif, aspek-aspek kebahasaan tidak dipisah-pisahkan, melainkan merupakan satu kesatuan yang padu. Penilaian pembelajaran bahasa dengan pendekatan pragmatik, yaitu sebagai tes bahasa yang difungsikan untuk mengukur kemampuan berbahasa sesuai dengan situasi dan konteks pemakaiannya. Oller (Rofi’uddin, 1994) mengemukakan beberapa tes yang dapat dikategorikan sebagai tes pragmatik, yakni, cloze test, dikte, tanya jawab, wawancara, bercerita, mengarang, dan terjemahan.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian dan pengembangan ini secara umum bertujuan untuk mengembangkan suatu model sistem penilaian berbasis kelas yang berorientasi pada ketercapaian standard kompetensi berbahasa Indonesia di sekolah dasar. Hasil dari pengembangan ini, pada akhirnya diharapkan dapat memfailitasi guru-guru sekolah dasar dalam meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa Indonesia. Penelitian ini dirancang ke dalam dua periode.
2. Tujuan Khusus
Tujuan kegiatan penelitian pada periode pertama (tahun ke-1) adalah sebagai berikut.
1. Mengidentifikasi kondisi lapangan dalam melaksanakan penilaian pembelajaran bahasa Indonesia.
2. Mengembangkan kerangka awal desain model sistem penilaian berbasis kelas yang relevan dengan tuntutan KTSP berbasis kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar.
3. Mengembangkan kerangka awal pedoman yang dapat menjelaskan prosedur pengembangan model sistem penilaian berbasis kelas yang sesuai dengan model sistem penilaian berbasis kelas hasil pengembangan.

3. Hasil yang Diharapkan
Penelitian dan pengembangan pada tahun ke 1 ini diharapkan dapat menghasilkan:
1. Dokumen hasil identifikasi dan pemetaan kompetensi dasar dan indikator serta kisi-kisi penilaian dalam pelaksanaan kurikulum mata pelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar.
2. Kerangka awal desain model sistem penilaian berbasis kelas yang dapat diterapkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia.
3. Kerangka awal pedoman pengembangan sistem penilaian berbasis kelas yang dapat digunakan sebagai acuan dan contoh konkrit bagi guru dalam melaksanakan model sistem penilaian berbasis kelas dalam pembelajaran bahasa Indonesia.

4. Manfaat Penelitian
Penilaian berbasis kelas merupakan suatu kegiatan pengumpulan informasi tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang ditakukan oleh guru yang bersangkutan sehingga penilaian tersebut akan "mengukur apa yang hendak diukur" dari peserta didik. Salah satu prinsip penilaian berbasis kelas yaitu, penilaian dilakukan oleh guru dan peserta didik. Hal ini perlu dilakukan bersama karena hanya guru yang bersangkutan yang paling tahu tingkat pencapaian belajar peserta didik yang diajarnya. Selain itu peserta didik yang telah diberitahu oleh guru tersebut bentuk/cara penilaiannya akan berusaha meningkatkan prestasinya sesuai dengan kemampuannya.
Prinsip penilaian berbasis kelas lainnya yaitu: tidak terpisahkan dari KBM, menggunakan acuan patokan, menggunakan berbagai cara penilaian (tes dan non tes), mencerminkan kompetensi peserta didik secara komprehensif, berorientasi pada kompetensi, valid, adil, terbuka, berkesinambungan, bermakna, dan mendidik.
Diterapkannya standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan pada dasarnya membawa implikasi pada orientasi dan strategi penilaian di kelas oleh guru. Dengan demikian, penilaian kelas harus bersifat otentik, yakni penilaian yang menggunakan berbagai metode dan teknik yang sesuai dengan tujuan dan proses serta pengalaman belajar peserta didik. Penilaian kelas harus menjadi bagian integral dari keseluruhan proses belajar mengajar. Oleh karena itu, agar tujuan dan fungsi penilaian lebih berdaya guna bagi perbaikan belajar peserta didik, maka berbagai metode dan teknik harus digunakan guru dalam melakukan penilaian kelas.
Penilaian sebagai bagian integral dari pembelajaran, maka penilaian harus dirancang dan dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip yang melandasi pembelajaran, sebagaimana tertuang dalam kurikulum. Dalam kurikulum mata pelajaran bahasa Indonesia ditegaskan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia dilaksanakan dengan pendekatan komunikatif. Dengan demikian, maka penilaiannya juga harus dilaksanakan dengan menganut prinsip-prinsip yang berlaku dalam pendekatan komunikatif.
Agar tujuan penilaian tercapai, guru harus menggunakan berbagai metoda dan teknik penilaian yang beragam sesuai dengan tujuan pembelajaran dan karakteristik pengalaman belajar yang dilaluinya. Oleh sebab itu, guru hendaknya memiliki pengetahuan dan kemahiran tentang berbagai metoda dan teknik penilaian sehingga dapat memilih dan melaksanakan dengan tepat metoda dan teknik yang dianggap paling sesuai dengan tujuan dan proses pembelajaran, serta pengalaman belajar yang telah ditetapkan.
Untuk itu, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoretis maupun secara praktis yang dapat dijadikan acuan bagi guru dalam mengimplementasikan kurikulum mata pelajaran bahasa Indonesia. Salah satu perangkat acuan yang dibutuhkan guru tersebut adalah pedoman sistem penilaian berbasis kelas dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Pedoman inilah yang ingin dihasilkan melalui penelitian ini, yang kemudian dinamakan model sistem penilaian berbasis kelas dalam pembelajaran bahasa Indonesia.

E. Prosedur Penelitian
1. Langkah-langkah Penelitian
Penelitian ini mengacu kepada pendekatan penelitian dan pengembangan sebagaimana dikemukakan Borg & Gall, (1979). Adapun langkah-langkah dan prosedur dalam penelitian dan pengembangan ini meliputi berikut ini.
a. Melakukan studi pendahuluan, yaitu kegiatan pengumpulan informasi yang meliputi penelaahan literatur berkenaan dengan upaya memahami sistem penilaian berbasis kelas, dan observasi lapangan untuk mengumpulkan informasi sekaitan dengan kebutuhan yang ada di lapangan;
b. Menyusun draf rancangan awal model pengembangan sistem penilaian berbasis kelas dengan mempertimbangkan temuan-temuan hasil studi pendahuluan. Draf rancangan awal model ini dibahas bersama para praktisi dan para ahli yang relevan, untuk menghasilkan produk awal model dan pedoman pengembangannya, yang kemudian dilakukan uji kelayakan dilihat dari keterbacaannya.
c. Mengadakan uji coba, meliputi uji coba terbatas dan uji coba lebih luas. Uji coba terbatas difokuskan kepada evaluasi proses untuk memperoleh informasi terkait dengan keterbacaan model. Sedangkan uji coba lebih luas, selain difokuskan kepada evaluasi proses juga difokuskan pada evaluasi hasil, yakni evaluasi yang diarahkan untuk menilai efektivitas model. Dari hasil uji coba ini diharapkan diperoleh informasi yang bermanfaat bagi penyempurnaan model dan pedoman pengembangannya.
d. Melakukan uji validasi model dan diseminasi. Uji validasi dilakukan untuk memperoleh data empirik tentang keterandalan model melalui eksperimen dengan membandingkan dua kelompok subyek, yakni antara kelompok yang mendapat perlakukan dengan menggunakan model hasil pengembangan dengan kelompok yang tidak mendapat perlakuan atau kelompok yang menggunakan model konvensional. Diseminasi yaitu langkah melaporkan produk pada pertemuan ilmiah serta dipublikasikan melalui jurnal, juga menyebarluaskan produk melalui seminar dan pelatihan-pelatihan kepada guru-guru sekolah dasar.
Keseluruhan langkah-langkah dan prosedur penelitian dan pengembangan ini dapat dilihat pada bagan berikut ini.









Studi Lapangan Perencanaan Pengembangan Validasi Pelaporan

STUDI LITERATUR
- Teori UJI COBA TERBATAS
- Hasil penelitian - Desain kasar
terdahulu - Implementasi
- Tujuan - Evaluasi
- Kemampuan - Penyempurnaan
STUDI LAPANGAN peneliti UJI MODEL
- Implementasi - Partisipan
model yang akan - Prosedur - Tes awal
dikembangkan - Uji kelayakan L
- Kondisi & kinerja terbatas - Imple- A
peserta didik alternatif UJI COBA LEBIH men P
- Kondisi & kinerja model LUAS O
guru - Desain halus R
- Sarana, alat, media - Implementasi - Tes khir A
dan sumber - Evaluasi N
- Lingkungan - Penyempurnaan
sekolah KONKLUSI



DESAIN FINAL

Tahun Pertama Ta Tahun Kedua


Bagan : Prosedur Penelitian dan Pengembangan

2. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini adalah seluruh sekolah dasar yang ada di Kota Bandung. Untuk menentukan sekolah mana yang akan menjadi sampel penelitian ini, maka digunakan teknik sampling, yakni teknik random sampling dan purposive sampling. Penentuan random sampling dilakukan untuk kepentingan studi lapangan pada tahap studi pendahuluan dan tahap diseminasi. Adapun langkah-langkah yang ditempuh adalah (1) membagi kota dan kabupaten bandung menjadi wilayah-wilayah kecamatan, (2) menentukan wilayah kecamatan sebagai sampel dengan menggunakan random sampling, (3) menentukan sekolah yang akan mewakili setiap kecamatan. Berdasarkan prosedur di atas, maka dari sekolah-sekolah yang tersebar di 26 kecamatan yang ada di kota Bandung telah ditetapkan jumlah dan jenis sekolah yang terdiri dari 7 kecamatan.

3. Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket, wawancara, analisis dokumen, observasi, tes dan nontes. Berdasarkan teknik pengumpulan data tersebut, dapat diperoleh data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deskripsi yang dilakukan secara berkelanjutan sesuai data yang diperoleh. Adapun data kuantitatif dianalisis dengan menggunakan metode analisis statistik, tepatnya menggunakan teknik analisis uji t dan anova yang dalam proses pengolahannya menggunakan bantuan komputer dengan program SPSS.

F. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pengembangan pada tahun pertama, sesuai dengan masalah penelitian, maka kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Profil Lapangan
Berdasarkan hasil studi pendahuluan, dapat diidentifikasi profil lapangan berkenaan dengan pemahaman dan pelaksanaan sistem penilaian berbasis kelas dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Dilihat dari pemahaman guru-guru tentang penilaian berbasis kelas seiring dengan kebijakan KBK, tampaknya pemahaman tentang penilaian berbasis kelas yang dimiliki oleh guru-guru tersebut masih dangkal. Artinya baru sampai memahami secara garis besar, belum memahasi secara mendalam bahwa penilaian berbasis kelas merupakan suatu kegiatan pengumpulan informasi tentang proses dan hasil belajar siswa yang dilakukan oleh guru yang bersangkutan sehingga penilaian tersebut akan mengukur apa yang hendak diukur.

b. Kerangka Awal Model Sistem Penilaian Berbasis Kelas Hasil Pengembangan
Kerangka awal model sistem penilaian berbasis kelas dalam pembelajaran bahasa Indonesia hasil pengembangan, merupakan gambaran sistematis langkah-langkah yang harus ditempuh guru dalam proses penilaian. Dalam hal ini dikembangkan prosedur yang meliputi langkah-langkah sebagai berikut.
Langkah pertama merupakan langkah persiapan yang harus dilakukan oleh guru yang akan melakukan penilaian. Langkah kedua merupakan langkah pengumpulan data yang meliputi kegiatan pengumpulan informasi yang diperlukan, dan kegiatan analisis dan pencatatan informasi yang diperoleh. Langkah ketiga merupakan kegiatan penilaian terhadap informasi yang diperoleh dan yang telah diolah pada tahap kedua. Kegiatan pada langkah ketiga ini meliputi kegiatan pembuatan pertimbangan dan pengambilan keputusan, yang ditindaklanjuti dengan kegiatan pelaporan terhadap pihak-pihak terkait.

c. Kerangka Awal Pedoman Pengembangan Penilaian Berbasis Kelas
Pedoman pengembangan model sistem penilaian berbasis kelas dalam pembelajaran bahasa Indonesia merupakan suatu kebutuhan bagi para guru. Mengingat selama ini, guru tampak kurang mempunyai pijakan yang jelas bagi kepentingan praktis yang secara khusus sesuai dengan kebutuhan penilaian mata pelajaran bahasa Indonesia. Untuk itu, kerangka awal pedoman pengembangan model sistem penilaian berbasis kelas dirancang sedemikian rupa, agar dapat memberikan arahan-arahan yang bersifat praktis dalam pengembangan model sistem penilaian berbasis kelas dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Secara garis besar, pedoman ini meliputi empat bagian, yaitu bagian pendahuluan meliputi latar belakang, tujuan, ruang lingkup, dan sasaran. Bagian dua berisi konsep dasar sistem penilaian berbasis kelas, yang meliputi pengertian, manfaat, prinsip, dan rambu-rambu. Bagian tiga, berisi teknik penilaian yang meliputi penentuan standar, indikator, teknik penilaian, dan cara penilaian. Bagian keempat, membahas tentang pelaporan hasil penilaian meliputi pengertian, bentuk pelaporan, dan teknik pelaporan.

2. Saran
Sebagaimana hasil penelitian, bahwa model sistem penilaian dan pedomannya baru merupakan kerangka awal yang baru diujicoba kelayakannya dalam lingkup yang sangat terbatas. Untuk melihat apakah kerangka awal model ini dilihat dari keterbacaan dan keunggulan model dapat memberikan kemudahan dan petunjuk praktis bagi para praktisi di lapangan, diperlukan uji coba lebih luas. Hasil uji coba lebih luas mungkin diperlukan adanya revisi dalam beberapa aspek sebelum diadakan uji validasi model. Dengan demikian, maka disarankan dilakukan penelitian lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA
Azies, Furqonul & Alwasilah, A. Chaedar. (1996). Pengajaran Bahasa Komunikatif:
Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Brown, Sam ED dan Everett, Rebecca Samalone. (1990). Activities for Teaching
Using the Whole Language Approach. U.S.A.: Charles C Thomas Publisher.
De Carlo, Julia E. (1995). Perspective in Whole Language. Boston: Allyn and Bacon.
De Fine, Allan A. (1992). Portfolio Assessment: Getting Started. New York:
Scholastic Professional Books.
Depdikbud. (1990). Mengajar Bahasa Indonesia: Untuk Guru Sekolah Dasar.
Jakarta: Depdikbud.
Fillmore, Lily Wong dan Meyer, Lois M. (1992). “The Curriculum and Linguistic
Minorities”, dalam Handbook of Research on Curriculum. America:
American Eucational research Association.
Fisher, Carol J. & Terry, C. Ann. (1982). Children’s Language and the Language
Arts. New York: McGraw-Hill Book Company.
Furqon. (2001). Evaluasi Belajar di Sekolah. Mimbar Pendidikan No. 3 Tahun XX,
Bandung: UPI.
Goodman, Kenneth S. (1995). “Whole-Language Research: Foundations and
Development” Dalam Perspectives in Whole Language. Bostom: Allyn and
Bacon.
Hasan, S. Hamid. (1988). Evaluasi Kurikulum. Jakarta: Depdikbud, Dikti, Proyek
Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga kependidikan.
Hasan, S. Hamid & Zainul, Asmawi (1993). Evaluasi Hasil Belajar. Jakarta:
Depdikbud.
Hidayat S., Kosadi. (2002).Pembelajaran Bahasa komunitas Melalui Pembelajaran.
Elekronika. Bandung: Mimbar Pendidikan No. 1 tahun XXI.
Pusat Kurikulum (2007). Model Penilaian Kelas Kuriikulum Berbasis Kompetensi.
http://www.Puskur. Net.
Staley, Amy. (1991). Reading Aloud: Bringing Whole Language into the ESL
WritingClassroom.(Online): http://langue.hyper.chubu.ac.jp/jalt/pub/tlt/97/mar
Sumardi .(2002). Peningkatan Mutu Pendidikan Lewat Bahasa Indonesia. (Online).
Tersedia: http://@www.goodle/search. (28 Maret 2002).

Dikutip dalam artikel. Dr. Lely Halimah, M.Pd.

Mengembangkan Kurikulum BIPA yang Ramah terhadap Pelajar

Mengembangkan Kurikulum BIPA
yang Ramah terhadap Pelajar


1. Pendahuluan

Sebagai sistem pembelajaran terdiri dari tiga komponen pokok, yaitu pelajar sebagai masukan (input), proses, dan keluaran (output). Proses melibatkan pelajar sebagai komponen yang mengalami proses itu, guru sebagai penggerak sekaligus pengatur jalannya proses, kurikulum sebagai program yang dijalankan dalam proses, dan prasarana serta sarana sebagai fasilitas yang memungkinkan jalannya proses itu. Semua komponen itu berperan dalam kekompakan. Pelajar merupakan pribadi-pribadi yang aktif, bukan objek yang pasif yang dapat diisi dengan ilmu dan pengetahuan seperti botol kosong yang dapat dipenuhi begitu saja dengan air, minyak tanah, bensin, atau apa saja oleh guru. Guru mempunyai peranan yang sangat menentukan. Apakah ia mau memperlakukan pelajar sebagai subjek yang aktif atau objek yang pasif, melaksanakan kurikulum dengan penuh kreativitas, atau seperti mesin yang mati dan hidup tanpa variasi, dan sebagainya, semua tergantung pada guru.
Kurikulum merupakan komponen yang sangat penting di samping guru dan fasilitas. Dengan kurikulum jelaslah gambaran tentang tujuan yang akan dicapai, bahan pembelajaran yang akan diolah, program pembelajaran yang akan dilaksanakan, serta kegiatan pembelajaran yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan. Kurikulum memberikan pedoman kepada guru untuk menyusun dan melaksanakan program pembelajaran. Gambaran tentang tinggi mutu keluaran juga dapat diperkirakan dari kurikulum yang dilaksanakan.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional di Indonesia tiap kali ada penggantian kurikulum dengan pendekatannya. Pada tahun 1976 Kurikulum 1975 menggantikan kurikulum sebelumnya. Kurikulum ini berorientasi pada tujuan dan menggunakan pendekatan PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional) yang dikembangkan melalui satuan pelajaran. Pada tahun 1984 Kurikulum 1975 diganti dengan Kurikulum 1984 yang menggunakan pendekatan keterampilan proses yang pelaksanaannya menggunakan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Khusus untuk pelajaran bahasa digunakan pendekatan komunikatif dan untuk mendukung pendekatan ini dimasukkan pokok bahasan pragmatik. Selanjutnya Kurikulum 1984 diganti dengan Kurikulum 1994 yang berlaku sampai sekarang.
Ada dugaan bahwa di lapangan banyak guru yang kurang paham tentang konsep keterampilan proses sehingga pelaksanaan pendekatan itu belum seperti yang diharapkan. Cara belajar siswa aktif pun sesungguhnya bukan barang baru karena salah satu prinsip didaktik adalah siswa harus aktif. Demikian juga apa yang disebut pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa sebab sejak dulu tujuan utama orang belajar bahasa adalah agar dapat menggunakan bahasa yang dipelajari untuk berkomunikasi..
Paradigma “baru” yang berkembang sejak tahun delapan puluhan adalah bahwa mengajar adalah membuat siswa belajar. Guru dianggap sebagai fasilitator saja dan berkaitan dengan anggapan itu di Indonesia berlaku istilah pembelajaran sebagai ganti belajar-mengajar. Namun, kenyataannya guru tetap sebagai aktor yang aktif dan faktor yang menentukan. Guru tidak hanya menyediakan perangkat keras, tetapi juga perangkat lunak Untuk membuat siswa aktif belajar, guru harus bekerja keras, memilih metode yang tepat, mengolah bahan dari GBPP, berusaha menarik perhatian siswa, dan lain-lainnya.
Untuk mendukung kegiatan pembelajaran itu diperlukan kurikulum yang memihak pelajar, yang memungkinkan siswa berbuat aktif. Kurikulum ini harus menitikberatkan kebutuhan pelajar sehingga kegiatan pembelajaran mencapai sasaran dan tujuan pelajar belajar. Tujuan, program, dan bahan pembelajarannya disusun sesuai dengan kebutuhan pelajar.
Seperti dikatakan tadi, tujuan belajar bahasa sejak dulu adalah agar pelajar dapat menggunakan bahasa yang dipelajari untuk berkomunikasi, menerima dan menyampaikan pesan atau informasi. Komunikasi dapat dilakukan baik secara lisan maupun secara tertulis. Apa yang dapat dikomunikasikan dalam kehidupan ini boleh dikatakan tidak ada batas, akan tetapi kebutuhan setiap orang untuk berkomunikasi terbatas. Kalau orang belajar bahasa kedua, tentu yang dipelajari terutama hanya bagian yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan itu.
Dewasa ini banyak penutur asing yang belajar bahasa Indonesia. Mereka berasal dari berbagai negara dengan bahasa pertama mereka masing-masing. Latar belakang mereka juga berbeda-beda, tetapi yang datang ke Indonesia umumnya orang dewasa. Tujuan dan kebutuhan mereka bermacam-macam Lama belajar juga berbeda-beda. Bekal kemampuan berbahasa Indonesia mereka bertingkat-tingkat; dari tingkat pemula (mulai dari nol) sampai tingkat mahir/lancar. Dengan demikian, kiranya tidak mungkin mereka mempelajari bahan yang sama dengan kedalaman dan keluasan yang sama. Kesulitan timbul apabila mereka datang bersama untuk belajar dalam waktu yang sama.
Sehubungan dengan uraian di atas, persoalan pokok yang perlu dipecahkan adalah bagaimana mengembangkan kurikulum seperti yang digambarkan tadi untuk BIPA. Tulisan ini mencoba memecahkan persoalan itu dengan memberikan gambaran mengenai kurikulum BIPA yang dimaksud.
Manfaat yang diharapkan dari tulisan ini adalah dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi penyusun kurikulum untuk membuat kurikulum yang sesuai dengan perkembangan pembelajaran BIPA. Bagi pengajar tulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu acuan untuk menyusun program pembelajarannya. Bagi pelajar dapat juga tulisan ini dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Mengingat adanya berbagai keterbatasan, pembahasannya hanya meliputi dua hal pokok, yaitu dasar-dasar penyusunan kurikulum BIPA dan kerangkanya. Pokok pembicaraan yang pertama mencakup kebutuhan pelajar asing belajar bahasa Indonesia, gambaran singkat tentang bahasa Indonesia, sedikit teori belajar bahasa kedua, dan pendekatan yang tepat. Kerangka kurikulum meliputi tujuan umum dan tujuan khusus, ruang lingkup bahan pengajaran, dan sistem evaluasi.




2. Dasar-dasar Penyusunan Kurikulum BIPA

Bagian ini akan membicarakan kebutuhan pelajar BIPA, gambaran singkat tentang bahasa Indonesia, terutama kekhususan dan perbedaannya dengan bahasa lain, dan sedikit teori tentang belajar bahasa kedua.

2.1 Kebutuhan Pelajar BIPA
Untuk mencapai tujuan pokok belajar bahasa Indonesia, yaitu agar dapat menggunakannya untuk berkomunikasi, baik secara lisan maupun secara tertulis penutur asing tidak perlu dan juga memang tidak mungkin mempelajari bahasa Indonesia keseluruhan, baik tata bunyi, kosakata, maupun tata bahasa. Mereka tentu harus mempelajari apa-apa yang mereka butuhkan, tetapi tidak harus mempelajari apa yang tidak mereka butuhkan. Hal ini sejalan dengan pendapat Mackey tentang seleksi dalam pembicaraan mengenai metode. Menurut Mackey tidak ada metode yang dapat mengajarkan keseluruhan suatu bahasa. Tak ada penutur asli yang mengetahui keseluruhan bahasa mereka sendiri. Sejumlah besar materi yang diajarkan beberapa metode mencakup banyak hal yang tidak pernah dipakai dan segera dilupakan. Adapun seleksi dilakukan berdasarkan: (1) tujuan, tingkat, dan lama, (2) tipe, dan (3) jumlah yang dipilih, yang semua dipengaruhi oleh (4) cara seleksi, dan menentukan (5) butir-butir yang diseleksi dari fonetik, tata bahasa, kosakata dan semantik (Mackey, 1971:101-102)
Informasi tentang kebutuhan pelajar itu amat diperlukan untuk menyusun kurikulum yang berpusat pada pelajar dan untuk pengajar yang berperan sebagai fasilitator. Untuk itu diperlukan analisis kebutuhan komunikasi yang benar-benar dibutuhkan oleh pelajar; jadi, bukan kebutuhan umum, tetapi kebutuhan khusus. Pengkhususan kebutuhan komunikasi ini diutamakan untuk seleksi fungsi ujaran atau tindak komunikasi yang perlu dipelajari oleh pelajar. Dengan menggambarkan profil kebutuhan komunikasi dapat ditentukan kecakapan dan bentuk-bentuk linguistik khusus yang perlu dipelajari (Munby, 1978: 24). Dalam hal ini Nunan mengatakan bahwa para pendukung kurikulum yang berpusat pada pelajar kurang tertarik pada pelajar yang mau menguasai keseluruhan suatu bahasa. tetapi lebih tertarik untuk membantu mereka memperoleh keterampilan komunikatif dan kebahasaan yang mereka butuhkan untuk melaksanakan tugas dalam dunia nyata. Ini berarti secara implisit pandangan yang berpusat pada pelajar mengaku bahwa tidak ada orang yang menguasai segala aspek bahasa (Nunan, 1988: 22).
Dalam buku yang berjudul Communicative Syllabus Design (1978) Munby memberikan model untuk mengkhususkan kompetensi komunikatif dengan parameternya dan bagaimana komponennya berinteraksi untuk memproses masukan menjadi keluaran. Dalam buku itu analisis kebutuhan diuraikan secara teliti dari berbagai segi. Profil kebutuhan komunikatif pelajar (participant) dalam model itu diinterpretasikan dalam hubungannya dengan keterampilan bahasa dalam kenyataan. Munby tidak menggunakan istilah keterampilan bahasa yang meliputi empat macam: mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis sebagai konsep makro, tetapi istilah keterampilan digunakan dalam konsep mikro yang tidak memisahkan keempat keterampilan itu. Selanjutnya taksonomi keterampilan itu terdiri dari dua ratus enam puluh macam keterampilan yang dimasukkan ke dalam lima puluh empat kelompok. (hal. 116 – 131).
Analisis kebutuhan dapat berfokus pada parameter program pengajaran bahasa secara umum atau pada kebutuhan komunikatif khusus para pelajar. Yang pertama merujuk kepada analisis situasi yang berfokus pada macam pertanyaan:
Siapa pelajarnya?
Apa tujuan dan harapan mereka?
Apa gaya (styles) belajar yang lebih mereka sukai?
Seberapa kemampuan guru dalam bahasa target?
Siapa guru(-guru)nya?
Apa pelatihan dan pengalaman yang dimiliki guru?
Apa pendekatan pengajaran yang mereka sukai?
Apa yang diharapkan guru dari program?
Apa konteks administratif programnya?
Apa kendala (misalnya waktu, anggaran, sumber) yang ada?
Apa jenis tes dan ukuran penilaian yang dibutuhkan?
Pendekatan kedua, analisis kebutuhan komunikatif berhubungan dengan pengumpulan informasi tentang kebutuhan komunikatif pelajar akan bahasa target dan melibatkan macam pertanyaan berikut:
Dalam latar (settings) apa saja pelajar akan menggunakan bahasa target?
Apa hubungan peran yang terlibat?
Modalitas bahasa mana yang terlibat (misalnya: membaca, menulis, mendengarkan, berbicara)?
Apa tipe kejadian komunikasi dan tindak ujaran yang terlibat?
Apa tingkat kemampuan yang dituntut? {Richards, 1990:2}

Jawab atas pertanyaan-pertanyaan kedua kelompok itu membantu menentukan tipe keterampilan bahasa dan tingkat kemampuan bahasa yang akan diberikan dalam program pembelajaran yang berpusat pada pelajar. Untuk mendapatkannya diperlukan kuesioner pada para pelajar. Bagian kuesioner yang dilampirkan oleh Richards antara lain mencakup pertanyaan tentang bagaimana pelajar senang belajar, misalnya:

a) Di kelas, apakah Anda suka belajar
1. sendiri
2. berpasangan
3. dst.
b) Apakah Anda menginginkan pekerjaan rumah?
Jika demikian, berapa banyak waktu yang Anda gunakan di luar jam sekolah?
------- jam sehari
atau
------- jam seminggu
dst.
c) Apakah Anda ingin
1. menghabiskan seluruh waktu belajar Anda di kelas/
atau ...
2. dst.
d) Apakah Anda suka belajar
1. dengan menghafal?
2. dengan memecahkan masalah? dst. ( hal. 27).
2. 2 Bahasa Indonesia dalam Perkembangannya

Bahasa Indonesia dapat dilihat secara politis dan secara linguistis. Secara politis bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan bahasa negara bagi seluruh warga negara Republik Indonesia. Kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia ini telah dirumuskan dalam Politik Bahasa Nasional (Amran Halim, ed,, 1976) dan telah banyak dikutip. Secara linguistis bahasa Indonesia adalah salah satu bahasa di dunia yang memiliki sistem tersendiri seperti bahasa-bahasa lain. Sistem ejaan telah jelas dengan adanya Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (Pedoman EYD}; kosakatanya tergambar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia; sedangkan sistem fonologi, morfologi, dan sintaksisnya dapat dipelajari dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBBI) yang edisi terakhirnya disusun oleh Hasan Alwi dkk.(1998) dan buku-buku tata bahasa yang lain.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat pemakainya, bahasa Indonesia terus berkembang baik ditinjau dari jumlah pemakainya, luas pemakaiannya, maupun penambahan kosakatanya. Dalam pemakaiannya itu terdapat beraneka ragam yang semuanya masih tetap disebut “bahasa Indonesia” karena masing-masing berbagi teras atau intisari bersama yang umum (Alwi dkk.,1998: 3). Dalam TBBBI ragam bahasa dikenali menurut golongan penutur bahasa dan menurut jenis pemakaian bahasa. Dari sudut pandangan penutur ragam bahasa dapat dirinci menurut patokan daerah, pendidikan, dan sikap penutur. Ragam daerah dikenal dengan nama logat atau dialek; ragam bahasa orang berpendidikan yang pada umumnya memperlihatkan pemakaian bahasa yang apik lazim digolongkan dan diterima sebagai ragam baku; ragam bahasa menurut sikap penutur yang dapat disebut langgam atau gaya, pemilihannya bergantung pada sikap penutur terhadap orang yang diajak berbicara atau pembaca. Ragam bahasa menurut jenis pemakaiannya dapat dirinci menjadi tiga macam: ragam dari sudut pandangan bidang atau pokok persoalan, ragam menurut sarana, dan ragam yang mengalami Precambrian. Ragam menurut bidang atau pokok persoalannya terlihat dari kosakatanya; ragam menurut sarana meliputi ragam lisan dan ragam tulisan (hal. 3-7).
Gorys Keraf (1991:5-7) menggolongkan ragam bahasa berdasarkan bidang wacana, cara berwacana, peran, dan formalitas hubungan. Berdasarkan bidang wacana dibedakan ragam ilmiah dan ragam populer; berdasarkan cara berwacana secara umum dapat dibedakan ragam tulis dan ragam lisan; berdasarkan peran sosial atau fungsi, ragam bahasa dapat dibedakan atas ragam resmi dan ragam tak resmi, ragam teknis dan nonteknis, ragam prosa dan lirik, dan ragam terbatas (misalnya telegram). Adapun berdasarkan formalitas hubungan dibedakan ragam netral, ragam sopan, dan ragam kasar.
Ragam baku atau bahasa standar merupakan bahasa yang dianggap dan diterima sebagai patokan umum atau tolok bagi seluruh penutur. Ragam ini memiliki sifat kemantapan dinamis yang berupa kaidah dan aturan yang tetap dan sifat kecendekiaan yang perwujudannya mengungkapkan penalaran atau pemikiran yang teratur, logis, dan masuk akal. Adanya kaidah dan norma dalam bahasa standar ini menjadi tolok ukur bagi betul tidaknya pemakaian bahasa perorangan atau golongan (Alwi, 1998: 13-16: Keraf, 1991: 8).

Walaupun tidak berdasarkan data penelitian, kiranya dari kenyataan dapat dikatakan bahwa jumlah pemakai bahasa Indonesia awal abad dua puluh satu ini sangat besar dan wilayah pemakaiannya sangat luas mengingat jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta orang dan sebagian besar telah mengalami pendidikan. Kosakata bahasa Indonesia juga terus bertambah dengan masuknya kata-kata dari bahasa daerah dan terutama dari bahasa asing.
Dari kenyataan juga dapat dirasakan bahwa dewasa ini batas antara ragam yang satu dengan yang lain kadang-kadang tidak jelas. Dialek Jakarta, misalnya, telah “menular” ke mana-mana walaupun tidak sepenuhnya, terutama di kalangan
anak muda. Dalam berbagai peristiwa yang seharusnya orang menggunakan ragam bahasa baku banyak terdapat penyimpangan terhadap kaidah dan pemakaian kata yang tidak tepat. Kata kita yang melibatkan lawan bicara sering dipakai dalam pengertian kami yang tidak melibatkan lawan bicara; kata cuman yang tidak baku sering dipakai sebagai pengganti hanya yang baku. Agaknya penyimpangan itu tidak dirasakan atau tidak dipedulikan oleh banyak pemakai karena komunikasi tetap berjalan tanpa salah paham.
Perbedaan antara bahasa Indonesia dengan bahasa asing dalam hal ejaan, kosakata, dan struktur cukup jelas karena bahasa Indonesia merupakan salah satu bahasa yang berdiri sendiri, memiliki sistem tersendiri. Dalam hal ejaan yang perlu dicatat adalah adanya dua huruf yang melambangkan satu bunyi, misalnya kh, ng, ny, dan sy; dan satu huruf yang melambangkan lebih dari satu bunyi, misalnya e dan k. Perbedaan yang menonjol mungkin adanya “keluwesan” dalam pemakaian yang tidak dimiliki bahasa lain. Yang dimaksud keluwesan di sini yaitu variasi bebas dan penyimpangan yang tidak mengganggu proses komunikasi atau tidak menimbulkan salah paham bagi pelakunya, terutama dalam ragam lisan. Ucapan, aksen, dan intonasi yang bervariasi dalam bahasa Indonesia tidak pernah menimbulkan persoalan. Selain itu, banyaknya kata-kata asing masuk ke dalam bahasa Indonesia dan mudahnya pembentukan akronim juga merupakan sesuatu yang membedakan bahasa Indonesia dengan bahasa lain.
Banyak orang mengira bahwa keluwesan dan banyaknya kata yang berasal dari bahasa asing itu memudahkan pelajar BIPA, tetapi ternyata tidak demikian. Pengalaman menunjukkan bahwa di antara para pelajar BIPA itu mengeluh dan bingung dengan banyaknya penyimpangan dan banyaknya kata-kata yang berasal dari bahasa lain itu.

2.3 Teori Belajar Bahasa Kedua

Bagi penutur asing bahasa Indonesia adalah bahasa asing. Banyak teori tentang belajar bahasa asing atau bahasa kedua, terutama mengenai metode, telah dikemukakan para ahli tetapi di sini hanya akan disinggung sedikit.
Belajar dan mengajar erat kaitannya. Bila kita memandang proses mengajar sebagai fasilitasi belajar, Brown (1980: 2-4) mengatakan bahwa kita akan sukses dalam mengajar bahasa asing apabila kita mengetahui sesuatu tentang jaringan variabel yang rumit yang mempengaruhi bagaimana dan mengapa belajar bahasa kedua berhasil atau gagal. Untuk mengetahui prinsip-prinsip belajar dan mengajar bahasa asing guru harus mulai dengan beberapa pertanyaan: Siapa, Apa, Bagaimana, Kapan, Di mana, dan Mengapa yang masing-masing dijabarkan lagi dengan beberapa pertanyaan. Pertanyaan Siapa, misalnya, jawabannya jelas, yaitu pelajar dan guru ; namun, masih banyak pertanyaan tentang pelajar itu: dari mana asal mereka, apa bahasa pertama, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya. Mengenai guru, pertanyaan selanjutnya adalah: apa bahasa asli mereka, pengalaman dan pelatihan yang pernah dijalani, pengetahuan tentang bahasa kedua, kepribadian, dan yang paling penting bagaimana interaksi mereka dengan pelajar sebagai manusia diusahakan dalam komunitas bahasa.
Pertanyaan yang paling relevan untuk kurikulum BIPA adalah Siapa, Apa, dan Mengapa. Jawaban pokoknya masing-masing adalah penutur asing dan pengajar, bahasa Indonesia, dan pelajar ingin menggunakan bahasa itu untuk berkomunikasi dalam berbagai keperluan. Penutur asing berasal dari berbagai tempat dengan bahasa pertama yang berbeda-beda, latar belakang sosial ekonomi yang mungkin berbeda, dan kapasitas intelektual yang berbeda-beda pula. Persamaan mereka adalah mereka orang dewasa, bukan anak-anak lagi.
Brundage dan MacKercher seperti dikutip Nunan (1988: 22-23) mengidentifikasi prinsip-prinsip belajar orang dewasa di antaranya sebagai berikut:
- Orang dewasa yang menilai pengalamannya sendiri sebagai sumber untuk belajar
lebih lanjut atau yang pengalamannya dinilai orang lain adalah pelajar yang lebih baik.
- Orang dewasa belajar paling baik kalau mereka terlibat dalam pengembangan tujuan
belajar bagi mereka sendiri yang serupa dengan konsep diri saat ini dan yang diidamkan.
- Orang dewasa telah mengembangkan cara-cara yang teratur untuk memusatkan
pada pengolahan informasi
- Pelajar bereaksi terhadap semua pengalaman sebagai apa yang ia amati, bukan sebagai
apa yang diberikan oleh guru
- Orang dewasa masuk ke dalam kegiatan belajar dengan serangkaian gambaran dan
perasaan yang teratur tentang dirinya yang mempengaruhi proses belajar.
- Orang dewasa lebih berkepentingan dengan apakah mereka berubah ke arah konsep-diri
yang diidamkan mereka sendiri daripada apakah mereka menemukan standar dan tujuan
dari orang lain
- Orang dewasa tidak belajar apabila terlalu dirangsang atau mengalami tekanan atau
kecemasan berat.
- Orang dewasa yang dapat memproses informasi melalui berbagai saluran dan telah
belajar ‘bagaimana belajar” adalah pelajar yang paling produktif.
- Orang dewasa belajar paling baik apabila bahan pelajaran secara pribadi relevan dengan
pengalaman masa lalu atau kepentingan sekarang dan proses belajar relevan dengan
pengalaman hidup.
- Orang dewasa belajar paling baik apabila informasi baru disajikan melalui suatu jenis
cara yang berhubungan dengan pancaindera dan pengalaman dengan ulangan dan
variasi tema yang cukup.
Prinsip-prinsip di atas menunjukkan bahwa pelajar dewasa sangat dipengaruhi oleh pengalaman belajar masa lalu, kepentingan sekarang, dan harapan masa depan. Mereka lebih tertarik pada belajar untuk mencapai tujuan langsung atau tidak terlalu jauh daripada belajar untuk kepentingan belajar. Dalam pengajaran bahasa, hal itu mengisyaratkan bahwa pendekatan yang berpusat pada pelajar lebih sesuai daripada pendekatan yang berpusat pada mata pelajaran.
Pendekatan yang sampai sekarang banyak diterapkan dalam pengajaran bahasa asing, bahkan untuk pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah di Indonesia adalah pendekatan komunikatif. Dengan pendekatan ini dimungkinkan pelajar tidak hanya mengetahui dan menghasilkan bentuk-bentuk linguistik sesuai dengan kaidah, tetapi terutama dapat menggunakannya untuk berkomunikasi dalam berbagai situasi dan keperluan. Namun, ada kecurigaan bahwa konsep pendekatan komunikatif di lapangan kurang dipahami atau sering diartikan ‘yang penting komunikatif, lawan bicara tahu maksud yang disampaikan, tidak perlu mengikuti kaidah’ sehingga kemampuan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar yang diharapkan belum sepenuhnya terpenuhi. Dalam TBBBI dikatakan
“ ... anjuran agar kita ‘berbahasa Indonesia yang baik dan benar’ dapat diartikan pemakaian ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya dan yang di samping itu mengikuti kaidah yang betul. Ungkapan ‘bahasa Indonesia yang baik dan benar’ mengacu ke ragam bahasa yang sekaligus memenuhi persyaratan kebenaran dan kebaikan.”
Itu berarti bahwa baik dan benar merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan walaupun baik dan benar dapat dibedakan.
Anjuran atau harapan itu mestinya juga berlaku untuk penutur asing yang belajar bahasa Indonesia. Untuk itu pendekatan komunikatif diterapkan dengan catatan bahwa ungkapan bahasa Indonesia yang baik dan benar perlu ditekankan.

3. Kerangka Kurikulum BIPA

Pada bagian ini akan diketengahkan kerangka Kurikulum BIPA secara sederhana, yaitu hanya meliputi tujuan, ruang lingkup bahan dan sumbernya, serta sistem evaluasi.

3.1 Tujuan
Dalam Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) mata pelajaran Bahasa Indonesia Kurikulum 1994 tujuan pengajaran meliputi tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum dirumuskan dalam lima butir rumusan yang pada intinya siswa menghargai dan membanggakan, memahami serta dapat menggunakan bahasa Indonesia; memiliki disiplin dalam berpikir dan berbahasa; serta mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra. Tujuan khusus meliputi kebahasaan, pemahaman, dan penggunaan. Kebahasaan berkenaan dengan pemahaman dan penggunaan tata bunyi, ejaan, struktur, kosakata dan apresiasi sastra. Pemahaman berkenaan dengan kemampuan reseptif, sedang penggunaan berkenaan dengan kemampuan produktif.
Bagi penutur asing tujuan pengajaran bahasa Indonesia tentu tidak sama dengan bagi siswa Indonesia karena kedudukan bahasa Indonesia bagi siswa Indonesia dan bagi penutur asing berbeda. Sikap siswa Indonesia dan penutur asing terhadap bahasa Indonesia juga berbeda. Oleh karena itu, rumusan tujuan pengajarannya juga berbeda.

Tujuan Umum

1. Pelajar BIPA mengenal bahasa Indonesia sebagai lambang identitas nasional
Indonesia
2. Pelajar BIPA memahami bahasa Indonesia secara linguistis (ejaan,
fonologi, morfologi, sintaksis dan kosakata)
3. Pelajar BIPA mampu menggunakan bahasa Indonesia dalam berbagai ragam-
nya baik secara reseptif maupun produktif
4. Pelajar BIPA mampu mengapresiasi sastra Indonesia dalam berbagai bentuknya
(prosa, puisi, drama, syair lagu}


Tujuan Khusus

Pelajar BIPA mampu :
1. mengucapkan kata dan kalimat dengan ucapan yang tepat dan intonasi yang
sesuai dengan maksudnya
2. menggunakan ejaan bahasa Indonesia yang baku dengan tepat
3. menggunakan berbagai bentuk imbuhan dengan maknanya
4. menggunakan kata dengan maknanya
5. mendapatkan dan menggunakan sinonim, antonim, dan homonim
6. memahami bahwa pesan yang sama dapat diungkapkan dalam berbagai bentuk
dan dapat menggunakannya
7. memahami bahwa bentuk yang sama dapat mengungkapkan berbagai makna
8. mengenal dan menikmati puisi, prosa, dan drama Indonesia
9. menerima pesan dan ungkapan perasaan orang lain dan menanggapinya secara
lisan dan tertulis
10. mengungkapkan perasaan, pendapat, angan-angan dan pengalaman secara
lisan dan tertulis sesuai dengan medianya
11. berinteraksi dan menjalin hubungan dengan orang lain secara lisan menurut
keadaan
12. menikmati keindahan dan menangkap pesan yang disampaikan dalam puisi,
prosa, drama, dan syair lagu.

3. 2 Ruang Lingkup Bahan dan Sumbernya
Ruang lingkup BIPA meliputi kebahasaan, kecakapan berbahasa (mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis), apresiasi sastra.
Sumber bahan meliputi sumber tertulis dan sumber lisan. Sumber tertulis mencakup: berbagai buku, majalah, surat kabar, dokumen, surat resmi, Su
rat perorangan, iklan, pengumuman, novel, cerpen, syair lagu, dan sebagainya. Adapun sumber tertulis meliputi: pidato, sambutan, diskusi, percakapan resmi dan tak resmi, siaran radio, siaran televisi, dan lain-lainnya.

Catatan:
Tidak semua tujuan harus dicapai dan tidak semua bahan harus dipelajari. karena kurikulum ini berpusat pada pelajar. Mereka dipersilakan menentukan sendiri tujuan yang akan dicapai dan bahan yang akan dipelajari; demikian juga lama belajar dan tingkat kemampuan/kecakapan. Kurikulum menyediakan segala sesuatunya berdasarkan analisis kebutuhan atau istilah Yalden (1983) survei kebutuhan.

3. 3 Sistem Evaluasi
Evaluasi merupakan masalah yang kompleks dalam pengajaran bahasa. Mulai dari membuat alat, kerumitan sudah terasa, belum lagi pelaksanaan dan pengolahan hasilnya. sebagai contoh, dalam kenyataan sering dijumpai pelajar yang “berbakat berbicara” dan yang pendiam. Pelajar yang pertama kata-kata dan kalimatnya banyak tetapi tidak karuan, sedang yang kedua kata-kata dan kalimatnya sedikit tetapi baik dan benar. Mana yang dinilai lebih baik? Itu hanya contoh kecil yang mungkin mudah dipecahkan. Banyak contoh lain yang menunjukkan kompleksitas hal evaluasi.

Evaluasi dapat dilakukan dalam berbagai tingkat, dari tingkat nasional atau bahkan internasional seperti TOEFL sampai tingkat kelas yang dilakukan oleh guru. Di sini hanya akan dibicarakan evaluasi tingkat kelas yang biasanya dilakukan oleh guru.
Evaluasi tidak hanya dapat dilakukan secara sumatif, yaitu pada akhir suatu program. Evaluasi justru perlu dilakukan dalam proses pembelajaran untuk mengetahui perubahan (kemajuan) pelajar dan keefektifan proses pembelajaran itu sendiri. Dalam evaluasi itu paling baik apabila pelajar diikutsertakan agar mereka dapat melihat kemajuan diri sendiri.
Evaluasi untuk kemampuan komunikatif dapat menggunakan tes diskrit dan tes terpadu. tes diskrit sesuai untuk komponen kebahasaan dalam fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon. Untuk kecakapan berbahasa tes terpadu lebih sesuai. Termasuk tes terpadu adalah prosedur cloze. dikte, dan wawancara lisan (Savignon, 1983: 249-265)

4. Penutup

Sebagai penutup perlu dikemukakan di sini bahwa untuk menyusun kurikulum BIPA yang berpusat pada pelajar atau yang ramah terhadap pelajar diperlukan analisis kebutuhan mereka. Kata ramah diartikan siap melayani pelajar dalam arti bahwa tujuan dan bahan yang disediakan tidak dipaksakan untuk mereka, tetapi mereka dapat mengambil sebagian atau seluruhnya sesuai dengan keinginan mereka. Selain itu mereka juga diikutsertakan dalam evaluasi.
Tulisan ini jauh dari sempurna dan kurang sesuai dengan rencana semula. Untuk memperbaikinya diperlukan banyak masukan. Oleh karena itu, masukan dari siapa pun baik berupa kritik, komentar, maupun saran akan diterima dengan rendah hati.

DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan dkk. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka
Brown, H, Douglas. 1980. Principles of Language Learning and Teaching.
Englewood Cliffs: Prentice-Hall, Inc.
Depdikbud. 1994. Kurikulum Penddidikan Dasar: Garis-garis Besar Program
Pengajaran (GBPP). Jakarta
Halim, Amran, ed. 1976. Fungsi dan Kedudukan Bahasa Indonesia. Dalam
Politik Bahasa Nasional. Dihimpun oleh Pusat Bahasa. Jakarta: Balai
Pustaka
Keraf, Gorys. 1991. Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia. Jakarta:
PT Gramedia Widiasarana Indonesia
Mackey, W. F. 1971. Language Teaching Analysis. London: Longman Group Ltd.
Munby, John. 1978. Communicative Syllabus Design. Cambridge: CUP
Nunan, David. 1994. The Learner-Centred Curriculum. Cambridge: CUP
Richards, Jack C. 1990. The Language Teaching Matrix. Cambridge: CUP
Savignon, Sandra J. 1983. Communicative Competence: Theory and Classroom
Practice. Massachusetts: Addiso-Wesley Publishing Company
Yalden, Janice. 1983. The Communicative Syllabus. Oxford: Pergamon Press

Pemakaian “Authentic Materials” dalam Pengajaran Bahasa Indonesia

Pemakaian “Authentic Materials” dalam Pengajaran
Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing


1. Pengantar

Dalam belajar bahasa asing dikenal empat jenis kemahiran, yaitu kemahiran mendengar, membaca, berbicara, dan menulis. Kemahiran mendengar dan membaca bersifat reseptif, sedang kemahiran berbicara dan menulis bersifat produktif. Penguasaan bahasa yang ideal mencakup keempat jenis kemahiran tersebut, walaupun kenyataannya ada siswa yang cepat mahir berbicara tetapi lemah dalam menulis atau sebaliknya (Lado, 1985).
Dalam hubungannya dengan retensi atau kemampuan mengingat kembali unsur-unsur bahasa yang sudah dipelajari, kemahiran membaca mempunyai derajat yang paling rendah. Seperti dilaporkan oleh Dale (1969)
pada umumnya pembelajar hanya 10% mengingat dari apa yang mereka baca, 20% dari apa yang mereka dengar, 30% dari apa yang mereka lihat, 50% dari apa yang mereka dengar dan lihat, 70% dari apa yang mereka katakan dan tulis, dan 90% dari apa yang mereka katakan seperti yang mereka lakukan. Mengingat rendahnya kemampuan mengingat dari apa yang mereka baca dan dengar dalam proses belajar bahasa asing, maka pelajaran membaca, mendengar, dan berbicara harus mendapat perhatian yang seksama.
Salah satu problem dalam belajar bahasa asing ialah adanya kesenjangan antara bahasa pertama dan bahasa target yang akan dipelajari. Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin jauh kesenjangan itu, semakin sulit proses pembelajarannya; dan semakin dekat kesenjangan itu, semakin mudah proses pembelajarannya. Kesulitan itu terasa pada pembelajar kelas pemula, atau pembelajar yang sama sekali belum mengenal bahasa target yang akan dipelajari. Pada situasi seperti itu penggunaan pendekatan dan pemilihan materi atau bahan ajar sangat menentukan keberhasilan proses pembelajaran bahasa asing. Melalui karangan pendek ini penulis akan menguraikan secara singkat pemakaian “authentic materials” dalam pengajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing. Uraian ini didasarkan pada materi dan pengalaman penulis mengajar bahasa Indonesia di James Cook University, Australia, dan University of Wisconsin di Madison, Amerika Serikat.

2. Problem Belajar Bahasa Asing

Salah satu problem dalam belajar bahasa asing ialah adanya kesenjangan antara bahasa pertama dan bahasa target yang akan dipelajari. Lazimnya problem itu muncul karena kurangnya pengetahuan bahasa target oleh pembelajar bahasa asing. Pengetahuan itu oleh Eskey (1986) dikategorikan sebagai (1) lower-level cognitive skills, required for the identification of forms, i.e. graphophonic, lexical/syntactic/semantic rhetorical; (2) higher-level cognitive skills, required for the interpretation of meaning, i.e. cultural, pragmatic, subject-spesific. Hal ini mendorong para peneliti menyadari mengapa pembelajar yang berlatar belakang barat lebih cepat belajar bahasa Inggris daripada pembelajar yang tidak berlatar belakang seperti itu. Sementara itu Grabe (1986) menjelaskan problem belajar bahasa asing muncul sebagai akibat dari perbedaan-perbedaan linguistis dan sosiokultural dari bahasa pertama dan bahasa target. Pembelajar harus menguasai kompetensi gramatikal dan leksikal dari bahasa target jika ingin menguasai bahasa target itu. Meskipun demikian adakalanya sejumlah pembelajar yang sudah mempunyai kompetensi secukupnya dalam bahasa target tetap menghadapi kesulitan memahami teks tertentu karena kurangnya pemahaman sosiokultur pemakai bahasa target. Oleh karena itu pemahaman sosiokultur pemakai bahasa target diperlukan untuk melengkapi kompetensi gramatikal dan leksikal mengenai bahasa target.
Kesulitan dalam belajar bahasa asing sebagai akibat dari kesenjangan bahasa pertama dan bahasa target sangat terasa bagi pembelajar yang sama sekali belum mengenal bahasa target. Dalam keadaan seperti ini penggunaan pendekatan yang tepat dan pemilihan materi atau bahan ajar yang fungsional sangat menentukan. keberhasilan pencapaian tujuan belajar bahasa asing. Selain untuk mencapai tujuan utama belajar bahasa asing, kedua hal itu juga sangat penting untuk membangkitkan interes pembelajar dan memelihara keterlibatan pembelajar pada subjek yang sedang dipelajarinya.

3. Perlunya Penggunaan “Authentic Materials”

Seperti telah dijelaskan oleh Eskey (1986) dan Grabe (1986) salah satu problem belajar bahasa asing ialah adanya kesenjangan antara bahasa pertama dan bahasa target. Ada beberapa cara yang dapat dipakai untuk mengatasi problem ini, antara lain ialah penggunaan pendekatan yang tepat dan pemilihan materi atau bahan ajar yang fungsional.
Dalam belajar bahasa asing dapat dipakai salah satu dari beberapa pendekatan yang telah dikenal hingga saat ini. Penggunaan pendekatan tertentu berkorelasi dengan jenis kemahiran yang dipelajari, dan materi yang dipelajari. Pemakaian “authentic materials” dituntut jika kita menggunakan pendekatan komunikatif-integratif dalam pengajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing.
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pendekatan komunikatif integratif adalah pendekatan dalam pembelajaran bahasa dengan menekankan aspek komunikatif dan integratif. Dengan komunikatif dimaksudkan sebagai pendekatan yang mengutamakan pembelajar menggunakan bahasa Indonesia untuk komunikasi secara aktif. Ini berarti fokus diletakkan pada penggunaan bahasa dalam konteks kehidupan sehari-hari. Sementara itu yang dimaksud dengan integratif ialah keterpaduan penggunaan kemahiran mendengar, membaca, berbicara, dan menulis. Di samping itu dengan pendekatan integratif pembelajar bahasa juga dilibatkan dalam aktivitas di kelas dan di luar kelas, baik dalam bentuk tugas terstruktur atau sosialisasi dengan masyarakat di sekitarnya.
Agar para pembelajar dan pengajar dapat berkomunikasi dengan baik diperlukan materi pelajaran yang fungsional. Seperti dijelaskan oleh Eskey (1986) para pembelajar yang termasuk lower-level cognitive skills memerlukan materi pelajaran yang menekankan identifikasi bentuk; sedang para pembelajar yang termasuk higher-level cognitive skills memerlukan materi pelajaran yang menekankan interpretasi makna. Bagi para pembelajar yang termasuk lower-level cognitive skills yang lazimnya berada di kelas pemula pemakaian “authentic materials” yang menekankan aspek bentuk sangat penting untuk menjembatani kesenjangan komunikasi di antara pembelajar dan pengajar. Dapat dibayangkan apa yang terjadi di dalam kelas jika para pembelajar tidak mengetahui satu kata pun dari bahasa yang dipelajarinya, sementara itu pengajar harus memaparkan materi pelajaran dengan memakai bahasa yang sedang dipelajarinya. Dengan menggunakan “authentic materials” yang tepat para pembelajar akan dapat mengikuti pelajaran dengan memanfaatkan pengetahuan dasarnya untuk menebak materi pelajaran yang dipelajarinya.

4. Klasifikasi Kelas Berdasar Kategori Pembelajar

Pada umumnya pembelajar bahasa asing dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan, yaitu kelas pemula (novice), menengah (intermediate), dan atas (advanced). Kelas pemula dibedakan atas kelas pemula bawah (novice-law), pemula tengah (novice-mid), dan pemula atas (novice-high). Kelas menengah dibagi atas kelas menengah bawah (intermediate-law), menengah tengah (intermediate-mid), dan menengah atas (intermediate-high). Untuk kelas atas jika diperlukan dapat dibedakan atas kelas atas (advanced) dan Kelas superior (superior).
Kelas pemula ditandai oleh kemampuan berkomunikasi secara minimal atas materi yang dipelajari. Kelas menengah ditandai oleh kemampuan memakai materi pelajaran dengan mengkombinasikan unsur-unsur yang dipelajari dan bertanya serta menjawab pertanyaan. Kelas atas ditandai oleh kemampuan berkomunikasi serta menulis teks yang utuh Pengelompokan ini sangat penting untuk melaksanakan pendekatan komunikatif-integratif, karena hanya kelas yang kemampuan pesertanya hampir samalah interaksi antarpembelajar dan pengajar dapat terjalin dengan baik. Apabila kemampuan pembelajar relatif berbeda, tidak jarang proses belajar-mengajar terganggu oleh pembelajar yang tidak dapat mengikuti pelajaran, atau sebaliknya oleh pembelajar lain yang lebih. Tinggi kemampuannya.

5. Penggunaan “Authentic Materials” di dalam Kelas

Berdasar asumsi bahwa retensi yang dihasilkan dari aktivitas membaca paling rendah bila dibandingkan dengan aktivitas lainnya, maka pelajaran membaca perlu mendapat perhatian khusus. Dengan menggunakan pendekatan komunikatif-integratif, aktivitas pada pelajaran membaca tidak terbatas pada membaca saja, tetapi dapat pula menjangkau aktivitas mendengar, berbicara, dan menulis. Hal ini berarti beberapa jenis aktivitas itu diintegrasikan ke dalam suatu aktivitas, yaitu melalui pelajaran membaca. Aktivitas mendengar terlibat dalam pelajaran membaca karena pembelajar harus mendengarkan ucapan-ucapan guru dan pembelajar lain ketika berinteraksi di dalam kelas, aktivitas berbicara terwujud pada saat pembelajar mendiskusikan materi pelajaran, dan aktivitas menulis tercakup dengan adanya tugas-tugas menulis karangan atau laporan dari hasil diskusi kelompok. Pada dasarnya pelajaran membaca itu sendiri dilaksanakan dalam tiga tahapan, yaitu tahap prabacaan, bacaan, dan pascabacaan. Setiap tahap harus dilakukan karena tahap yang satu menjadi prasyarat bagi tahap lainnya, dan keberhasilan pelajaran membaca ditentukan oleh ketiga tahapan itu.
Pada tahap prabacaan guru memperkenalkan tipe teks yang akan dipelajari dan menyampaikan bagan atau gambaran umum mengenai topik yang akan dibahas. Tahap prabacaan berfungsi sebagai basis dari keseluruhan pelajaran membaca, dalam arti bahwa pembelajar akan mengalami kesulitan mengikuti pelajaran ini tanpa dibekali informasi dan pikiran yang tepat mengenai teks yang akan mereka baca. Untuk itu sebelum pelajaran membaca dimulai, guru mulai menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan topik yang akan dibahas. Dalam hubungan ini guru menanyakan informasi apa saja yang akan muncul berkenaan dengan topik yang akan dipelajari dan dicacat pada papan tulis agar dapat dilihat dan diingat oleh para pembelajar. Dalam hal ini guru sangat dituntut peranannya untuk memancing siswa terlibat aktif dalam tahap prabacaan ini.
Perlu diketahui bahwa pada tahap prabacaan ini guru belum membagikan teks yang akan dipelajari. Sebelum teks dibagi, guru mendiskusikan topik yang akan dibahas di dalam teks. Diskusi ini dimaksudkan untuk memancing informasi yang akan dipakai sebagai kata kunci untuk menyusun hipotesis dalam memahami isi teks.
Kegiatan membaca dimulai ketika guru sudah mendistribusikan teks kepada para pembelajar. Para pembelajar diminta membaca dan memahami isi teks. Kata-kata yang dianggap sulit (karena belum pernah dikenalnya) dicacat dan ditanyakan kepada guru. Guru menjelaskan makna kata itu beserta sinonimnya agar para pembelajar bertambah penguasaan kosa katanya. Pada bagian bacaan terdapat pertanyaan tentang teks atau memilih serta mengisi bagian-bagian tertentu dari soal yang disajikan. Untuk mengerjakan bagian ini para pembelajar dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri atas 2 atau 3 orang. Dalam kelompok itu pembelajar berdiskusi dengan temannya mengenai apa yang ditanyakan dalam teks. Setelah diskusi selesai guru bertanya kepada para pembelajar satu per satu mengenai apa yang dikerjakan dan bagaimana hasilnya. Jika dalam materi pelajaran terdapat bagian yang harus diperankan, maka para pembelajar diminta untuk main peran mengenai hal tertentu, seperti wawancara antara wartawan dengan seorang pejabat, atau percakapan di antara penjual dan pembeli.
Pada bagian pascabacaan terdapat tugas yang harus dikerjakan oleh para pembelajar setelah pelajaran selesai. Ini berarti setelah pelajaran selesai para pembelajar diberi pekerjaan rumah. Pekerjaan rumah ini dikumpulkan pada hari berikutnya ketika pelajaran yang sama berlangsung lagi. Sedapat mungkin pekerjaan para pembelajar dari pascabacaan ini diperiksa dan hasilnya dikembalikan kepada para pembelajar. Jika waktu tidak memungkinkan, bagian pascabacaan ini tidak perlu dibahas di kelas, tetapi guru menyediakan waktu bagi para pembelajar jika ingin menanyakan sesuatu berkenaan dengan materi yang ada pada bagian pascabacaan.
Teks yang akan dipakai sebagai bahan bacaan harus disesuaikan dengan kemampuan para pembelajar dan sebaiknya berasal dari “authentic materials.” Untuk kelas pemula yang sama sekali belum mengenal bahasa Indonesia dapat dipilih teks yang berasal dari “authentic materials” mulai dari yang sangat sederhana hingga yang sedikit lebih kompleks. Seperti dianjurkan oleh Eskey (1986) untuk para pembelajar yang termasuk “lower-level cognitive skills” disajikan teks yang menekankan identifikasi bentuk. Dalam hal ini teks yang menekankan identifikasi bentuk itu diusahakan teks yang mengandung unsur-unsur universal sehingga para pembelajar dapat mengenali bentuk teks tulis sekali pun mereka tidak dapat memahami kata-kata yang ada dalam teks itu. Sebagai contoh pada hari pertama dalam pelajaran membaca pada kelas pemula guru menyajikan kartu nama sebagai bahan pelajaran. Pada umumnya kartu nama mempunyai bentuk yang relatif standar sehingga para pembelajar dapat menebak bagian-bagian yang memuat informasi tentang nama, alamat kantor atau alamat rumah, nomor telepon dan sebagainya, seperti terlihat pada contoh berikut


PT. MAJU MUNDUR nama institusi

ASWIN BUDI PRATAMA nama diri
Direktur Utama jabatan

Kantor: Rumah:
Jl Wuruk 4 Jl Jangli 23 alamat kantor/rumah
T 7471374 Smg T 7478209 Smg


Dengan memakai kartu nama guru dapat melaksanakan tugas mengajar sesuai dengan tahapan-tahapan yang telah diuraikan sebelum ini. Pada tahap prabacaan guru menjelaskan anatomi kartu nama, dan para pembelajar dipancing untuk mengidentifikasikannya. Setelah guru mendistribusikan teks yang berisi kartu nama, guru mulai menjelaskan atau menanyakan beberapa hal, misalnya dengan kalimat-kalimat seperti berikut ini:

(1) Siapa Naka? Nama saya …………………
(2) Di mana rumahku? Rumah saya………………….
(3) Berapa nomor telepon rumahku? Nomor telepon rumahku……

Pada tahap pascabacaan para pembelajar diminta menulis kartu nama dari setiap pembelajar. Tugas itu dilengkapi penjelasan tentang informasi diri setiap pembelajar seperti yang telah dijelaskan di dalam kelas. Setelah dimulai dengan teks yang sangat sederhana seperti kartu nama selanjutnya dapat disajikan teks yang berasal dari “authentic materials” yang lain, seperti bon atau nota pembelian barang, daftar menu rumah makan, kartu undangan dan lain sebagainya. Teks-teks seperti itu mudah diidentifikasi bentuknya karena para pembelajar pernah memakai atau menjumpainya dalam kehidupan sehari-hari walaupun ditulis dalam bahasa yang berbeda. Dengan demikian para pembelajar akan tertarik dengan materi pelajaran itu dan keterlibatan pembelajar pada subjek yang sedang dipelajari dapat dipelihara.
Untuk kelas menengah dan atas mulai disajikan teks dari “authentic materials” yang menuntut interpretasi makna kata-kata dan kalimat yang ada di dalam teks. Diasumsikan para pembelajar pada kelas menengah dan atas sudah menguasai sejumlah kata bahasa Indonesia sehingga kata-kata yang dikuasainya dapat dipakai sebagai modal untuk mengikuti pelajaran guna meningkatkan kemampuan bahasa Indonesia mereka. Berturut-turut dapat dipilih teks yang berasal dari bagian-bagian surat kabar, seperti iklan, berita keluarga; dan teks lain yang sederhana seperti surat, selebaran, pengumuman, dan seterusnya. Untuk kelas atas dapat dipilih teks yang berasal dari bagian-bagian majalah atau buku untuk dibahas isinya.
Setelah teks-teks itu dibahas di dalam kelas, para pembelajar baik di tingkat menengah atau atas diminta menulis karangan atau laporan yang berkaitan dengan teks itu. Tugas ini dapat dipakai sebagai acuan untuk mengetahui penguasaan bahasa Indonesia oleh para pembelajar dan perkembangan yang dialami selama mengikuti pelajaran.



Daftar Pustaka

Cross, David. 1992. A Practical Handbook of Language Teaching. New York: Prentice Hall.

Dale, Cone. 1969. Education Media. New York: Charles Merriil.


Donough, J.C. Shaw. 1993. Materials and Methods in ELT. London: Blackwell.

Dubin, F, and D.E Eskey and W. Grabe. 1986. Teaching Second Language: Reading for Academic Purposes. Addison: Wesley Publishing Co. Inc.

Lado, Robert. 1985. “Memory Span as a Factor in Second Language Learning,” dalam IRAL 3: 23-129.

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BIPA

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BIPA MELALUI MATERI OTENTIK
YANG BERMUATAN BUDAYA INDONESIA

ABSTRAK
Salah satu masalah dalam belajar bahasa asing adalah adanya kesenjangan antara bahasa pertama dan bahasa target yang akan dipelajari.Hal ini sering terjadi karena kurangnya pengetahuan bahasa target oleh pembelajar bahasa asing. Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin jauh kesenjangan itu, semakin sulit proses pembelajarannya; dan semakin dekat kesenjangan itu, semakin mudah proses pembelajarannya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Grabe (1986) bahwa problem belajar bahasa asing muncul sebagai akibat dari perbedaan-perbedaan linguistis dan sosiokultural dari bahasa pertama dan bahasa target. Pada situasi seperti ini maka penggunaan pendekatan yang tepat dan pemilihan bahan ajar yang fungsional memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan proses pembelajaran bahasa asing. Oleh karena itu pemakaian materi otentik (authentic-materials) akan sangat membantu pembelajar, terutama bagi mereka yang belum mengenal bahasa target sama sekali. Pemakaian materi ajar yang otentik tentu harus disertai dengan pendekatan komunikatif integratif karena hal ini juga akan membangkitkan minat pembelajar dan memelihara keterlibatan pembelajar terhadap subyek yang sedang dipelajarinya. Salah satu bagian yang sering terlupakan dalam pengajaran BIPA adalah komponen budaya Indonesia. Pembelajar BIPA sering mengalami benturan budaya ketika mereka masuk ke dalam situasi budaya ini. Masalah ini dapat dijembatani dengan cara menggunakan materi otentik yang bermuatan budaya Indonesia sebagai bahan ajar BIPA. Materi otentik dapat diambil dari surat kabar, rekaman berita televisi tentang berbagai kejadian di Indonesia, program radio, daftar menu rumah makan, iklan dsb. Dengan berbekal materi tersebut diharapkan kesadaran pembelajar BIPA tentang budaya Indonesia akan sangat membantu pembelajar dalam mengaktualisasikan diri mereka secara tepat di dalam bahasa Indonesia.

Kata kunci: komunikatif-integratif, linguistis, sosiokultural, materi otentik

Pengantar:
Membuat definisi budaya Indonesia merupakan hal yang sangat sulit karena banyak yang beranggapan bahwa budaya Indonesia itu tidak ada. Yang ada adalah budaya masing-masing suku di Indonesia. Namun marilah kita tidak usah susah payah mendefinisikan budaya Indonesia ini. Yang kita lihat di sini adalah jalan pemikiran serta tata cara hidup orang-orang di Indonesia yang akhirnya membentuk terminologi 'budaya Indonesia'. Sementara itu banyak juga yang berpendapat bahwa budaya itu tidak dapat diajarkan, jadi mengapa kita perlu membahas komponen budaya dalam pengajaran BIPA? Barangkali untuk lebih tepatnya adalah kita berupaya menanamkan kesadaran budaya Indonesia yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan Indonesia.
Pada kenyataannya kesadaran pembelajar BIPA tentang budaya Indonesia akan sangat membantu pembelajar dalam mengaktualisasikan diri mereka secara tepat di dalam bahasa Indonesia. Salah satu contoh klasik yang sangat sering dipakai adalah pertanyaan-pertanyaan: “mau kemana?, dari mana?, anaknya berapa?, gajinya berapa?, sudah menikah?, kok belum menikah?” yang sering menyebabkan pembelajar terheran-heran dengan keingintahuan orang Indonesia terhadap urusan orang lain.
Beberapa ungkapan dalam bahasa Indonesia dianggap melampaui batas kewajaran oleh pembelajar BIPA, yaitu: “wah gemuk sekali” dan “anaknya lucu ya” yang berati positif di Indonesia namun memuat konotasi negatif dalam konsep budaya barat. Pertanyaan-pertanyaan pada kelompok pertama dan ungkapan-ungkapa pujian pada kelompok kedua tentu saja harus dipahami sebagai komponen fungsi bahasa yang harus dijelaskan dalam konteks budaya dan tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa si pembelajar begitu saja. Seringnya ditemui keluhan tentang betapa inginnya orang Indonesia mencampuri urusan orang lain dalam konteks komunikasi menggunakan bahasa Indonesia, menunjukkan betapa minimnya pembahasan
komponen budaya dalam BIPA. Dalam contoh tersebut di atas, seperti yang tersirat dalam pertanyaan dan ungkapan pujian, komponen budaya bisa dikenalkan kepada murid, paling tidak sebagai catatatan budaya, di mana guru bisa menyinggung masalah ini bahkan pada hari pertama pelajaran BIPA dimulai dengan menggunakan topik “greeting” atau memberi salam yang bahan ajarnya diperoleh dari materi otentik (authentic materials).
Silabus dan kurikulum BIPA perlu mencantumkan komponen budaya ini untuk melengkapi pengajaran BIPA. Pada sisi lain pengajar juga harus memiliki pengetahuan tentang budaya Indonesia. Apa yang ingin diajarkan lewat komponen budaya tergantung bukan saja pada kurikulum dan silabus BIPA yang diciptakan atau diadopsi oleh pengajar. Komponen itu harus mengacu pada kepentingan pembelajar dalam mempelajari bahasa Indonesia. Ada beberapa hal yang perlu disampaikan bahwa kesadaran tentang budaya Indonesia ini bukan hanya melingkupi apa yang dapat dilihat dengan jelas (tarian, drama, adat istiadat, praktek-praktek keagamaan), namun hal tersebut juga mencakup permasalahan yang tak terhingga banyaknya, misalnya konsep menghormati yang lebih tua, konsep kekeluargaan, memberi dan menerima pujian, meminta maaf, keterusterangan, kritik dan sebagainya yang semuanya bisa dibahas dengan cara menyisipkannya ke dalam catatan budaya dalam pelajaran bahasa. Dalam konteks yang lebih luas yaitu konsep tentang HAM, agama, dosa dan pahala, bahasa tubuh dsb. memerlukan pembahasan yang lebih luas dan dijelaskan tersendiri (tidak bisa disisipkan dalam catatan budaya). Dalam hal ini komponen yang akan diajarkan/dibahas dipilih sesuai kebutuhan pembelajar.

Isi:
Dalam belajar bahasa asing dikenal empat macam kemahiran bahasa (four skills), yaitu kemahiran mendengar, membaca, berbicara, dan menulis. Kemahiran mendengar dan membaca bersifat reseptif, sedang kemahiran berbicara dan menulis bersifat produktif. Penguasaan bahasa yang ideal mencakup keempat jenis kemahiran tersebut, walaupun kenyataannya ada siswa yang cepat mahir berbicara tetapi lemah dalam menulis atau sebaliknya (Lado, 1985).
Terkait retensi atau kemampuan mengingat kembali unsur-unsur bahasa yang sudah dipelajari, kemahiran membaca mempunyai derajat yang paling rendah. Seperti dilaporkan oleh Dale (1969) pada umumnya pembelajar hanya 10% mengingat dari apa yang mereka baca, 20% dari apa yang mereka dengar, 30% dari apa yang mereka lihat, 50% dari apa yang mereka dengar dan lihat, 70% dari apa yang mereka katakan dan tulis, dan 90% dari apa yang mereka katakan seperti yang mereka lakukan. Mengingat rendahnya kemampuan mengingat dari apa yang mereka baca dan dengar dalam proses belajar bahasa asing, maka pelajaran membaca, mendengar, dan berbicara harus mendapat perhatian yang seksama.
Salah satu masalah dalam belajar bahasa asing adalah adanya kesenjangan antara bahasa pertama dan bahasa target yang akan dipelajari.Hal ini sering terjadi karena kurangnya pengetahuan bahasa target oleh pembelajar bahasa asing. Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin jauh kesenjangan itu, semakin sulit proses pembelajarannya; dan semakin dekat kesenjangan itu, semakin mudah proses pembelajarannya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Grabe (1986) bahwa problem belajar bahasa asing muncul sebagai akibat dari perbedaan-perbedaan linguistis dan sosiokultural dari bahasa pertama dan bahasa target. Pembelajar harus menguasai kompetensi gramatikal dan leksikal dari bahasa target jika ingin menguasai bahasa target itu. Walaupun demikian bisa saja terjadi seorang pembelajar yang sudah memiliki kompetensi secukupnya dalam bahasa target tetapi masih menghadapi kesulitan memahami teks tertentu karena kurangnya pemahaman sosiokultur pemakai bahasa target. Oleh karena itu pemahaman sosiokultur pemakai bahasa target sangat dibutuhkan oleh pembelajar untuk melengkapi kompetensi gramatikal dan leksikal mengenai bahasa target.

Perlunya penggunaan materi yang otentik (authentic materials)
Pada situasi seperti tersebut diatas, penggunaan pendekatan yang tepat dan pemilihan bahan ajar yang fungsional memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan proses pembelajaran bahasa asing. Penggunaan pendekatan tertentu berkorelasi dengan jenis kemahiran yang dipelajari, dan materi yang dipelajari. Oleh karena itu pemakaian materi otentik akan sangat membantu pembelajar, terutama bagi mereka yang belum mengenal bahasa target sama sekali. Pemakaian materi ajar yang otentik tentu harus disertai dengan pendekatan komunikatif integratif karena hal ini juga akan membangkitkan minat pembelajar dan memelihara keterlibatan pembelajar terhadap subyek yang sedang dipelajarinya.
Pendekatan komunikatif integratif adalah pendekatan dalam pembelajaran bahasa yang menekankan aspek komunikatif dan integratif. Komunikatif diartikan sebagai pendekatan yang mengutamakan pembelajar dalam menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi secara aktif. Hal in berarti bahwa fokus pembelajaran terletak pada penggunaan bahasa dalam konteks kehidupan sehari-hari. Sedangkan yang dimaksud dengan integratif adalah keterpaduan penggunaan empat kemahiran bahasa yaitu mendengar, membaca, berbicara, dan menulis. Dalam pendekatan integratif, pembelajar juga dilibatkan dalam aktivitas di kelas dan di luar kelas, baik dalam bentuk tugas terstruktur maupun dalam bersosialisasi dengan masyarakat di sekitarnya.
Untuk menciptakan komunikasi yang baik antara pembelajar dan pengajar, diperlukan materi pelajaran yang fungsional. Seperti dijelaskan oleh Eskey (1986) para pembelajar yang termasuk lower-level cognitive skills memerlukan materi pelajaran yang menekankan identifikasi bentuk; sedang para pembelajar yang termasuk higher-level cognitive skills memerlukan materi pelajaran yang menekankan interpretasi makna. Bagi para pembelajar yang termasuk lower-level cognitive skills yang biasanya berada di kelas pemula, pemakaian materi otentik yang menekankan aspek bentuk sangat penting untuk menjembatani kesenjangan komunikasi di antara pembelajar dan pengajar. Dapat dibayangkan apa yang terjadi di dalam kelas jika para pembelajar tidak mengerti satu kata pun dari bahasa yang dipelajarinya, sementara itu pengajar harus menjelaskan materi pelajaran dengan memakai bahasa yang sedang dipelajarinya. Dengan menggunakan materi otentik yang tepat para pembelajar akan dapat mengikuti pelajaran dengan memanfaatkan pengetahuan dasarnya untuk menebak materi pelajaran yang dipelajarinya.

Pengelompokan kelas berdasarkankan tingkatan pembelajar
Pada umumnya pembelajar bahasa asing dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan, yaitu kelas pemula (elementary), menengah (intermediate), dan atas (advanced). Masing-masing tingkatan masih bisa dibagi dalam beberapa tingkat sesuai kemampuan pembelajar, misalnya pra-pemula (pre-elementary) dan pemula, kelas pra-menengah (pre-intermediate), menengah, upper intermediate, dan seterusnya.
Kelas pemula biasanya ditandai oleh kemampuan berkomunikasi secara minimal tentang materi yang dipelajari, sementara kelas menengah ditandai oleh kemampuan memakai materi pelajaran dengan mengkombinasikan unsur-unsur yang dipelajari dan bertanya serta menjawab pertanyaan. Sedangkan kelas atas ditandai oleh kemampuan berkomunikasi serta menulis teks yang utuh. Pengelompokan ini sangat penting untuk melaksanakan pendekatan komunikatif-integratif, karena kelas yang pesertanya memiliki kemampuan setara , akan menciptakan interaksi yang baik antar pembelajar dan pengajar. Apabila kemampuan pembelajar relatif berbeda, maka proses belajar-mengajar dapat terganggu oleh pembelajar yang tidak dapat mengikuti pelajaran, atau sebaliknya oleh pembelajar lain yang memiliki kemampuan lebih tinggi.
Dalam makalah ini penulis akan menyajikan contoh pembelajaran BIPA bagi tingkat menengah (intermediate) yang menuntut interpretasi makna kata-kata dan kalimat yang ada dalam teks, seperti yang dikatakan oleh Eskey (1986). Pada tingkat ini dapat diasumsikan bahwa pembelajar sudah menguasai sejumlah kata-kata bahasa Indonesia sehingga kata-kata yang sudah dikuasainya tersebut dapat digunakan sebagai pengetahuan awal untuk mengikuti pelajaran dalam meningkatkan kemampuan bahasa Indonesianya. Pengajar BIPA dapat memperoleh materi otentik ini dari berbagai sumber tentang Indonesia melalui surat kabar atau majalah yang dapat diakses secara cuma-cuma diberbagai homepage, seperti majalah Tempo, surat kabar Republika dan Kompas. Bahan-bahan lainnya dapat diperoleh melalui akses ke berbagai lembaga yang telah memunculkan informasi dan produknya di jaringan internet. Semua sumber-sumber informasi yang dapat diakses tersebut memberi peluang bagi pengajar yang kreatif untuk menciptakan cara baru dalam menyajikan bahan pelajaran. Dari situ juga dapat dilakukan upaya pemilihan bahan utama maupun bahan pelengkap untuk kegiatan belajar mengajar. Bahkan dengan cara tersendiri, pengajar dapat mengambil bahan tertentu dan mencetaknya sebagai bahan ajar yang dapat dimodifikasi sesuai kegiatan belajar-mengajarnya. Jenis bahan ajar yang dipilih dapat berupa, iklan produk, editorila kartun, selebaran, berita keluarga, pengumuman, karikatur, komik dan lain sebagainya.

Penggunaan materi otentik di dalam kelas.
Berdasarkan asumsi bahwa retensi yang dihasilkan dari kegiatan membaca paling rendah bila dibandingkan dengan kegiatan yang lain, maka pelajaran membaca perlu mendapat perhatian khusus. Dengan menggunakan pendekatan komunikatif-integratif, kegiatan pelajaran membaca tidak terbatas pada membaca saja, tetapi dapat juga mencakup kagiatan mendengar, berbicara, dan menulis. Hal ini berarti beberapa jenis kegiatan diintegrasikan dalam sebuah kegiatan, yaitu melalui pelajaran membaca. Kegiatan mendengar ada dalam pelajaran membaca karena pembelajar harus mendengarkan ucapan-ucapan pengajar dan pembelajar lain ketika
berinteraksi di dalam kelas, sedangkan kegiatan berbicara direalisasikan pada saat pembelajar mendiskusikan materi pelajaran, dan kegiatan menulis dilakukan pada saat pembelajar mengerjakan tugas-tugas menulis karangan atau laporan dari hasil diskusi kelompok.
Pada dasarnya pelajaran membaca itu sendiri dilaksanakan dalam tiga tahapan, yaitu tahap prabacaan, bacaan, dan pascabacaan. Setiap tahap harus dilakukan karena tahap yang satu menjadi prasyarat bagi tahap lainnya, dan keberhasilan pelajaran membaca ditentukan oleh ketiga tahapan itu.
Prabacaan (pre-reading)
Pada tahap prabacaan pengajar memperkenalkan tipe teks yang akan dipelajari dan menyampaikan gambaran umum mengenai topik yang akan dibahas. Tahap prabacaan berfungsi sebagai dasar dari keseluruhan pelajaran membaca. Hal ini berarti bahwa pembelajar akan mengalami kesulitan mengikuti pelajaran ini bila yang bersangkutan tidak dibekali informasi dan pikiran yang tepat mengenai teks yang akan mereka baca. Untuk itu sebelum pelajaran membaca dimulai, pengajar mulai menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan topik yang akan dibahas. Dalam hubungan ini pengajar menanyakan informasi apa saja yang akan muncul berkenaan dengan topik yang akan dipelajari dan dicacat pada papan tulis agar dapat dilihat dan diingat oleh para pembelajar. Pada tahapan ini pengajar memiliki peran yang sangat penting dalam memotivasi pembelajar agar mereka terlibat secara aktif. Perlu diingat bahwa pada tahap prabacaan ini pengajar belum membagikan teks yang akan dipelajari. Sebelum teks dibagi, pengajar mendiskusikan topik yang akan dibahas di dalam teks. Diskusi ini dimaksudkan untuk menggali informasi yang akan digunakan dalam memahami isi teks.
Contoh: - Koran apa yang dibaca tiap hari?
- Berita apa yang pertama dicari?
- Apakah suka membaca rubrik editorial kartun?
- Pesan apa yang biasanya ingin disampaikan di dalamnya?
Kalau pembelajar memberikan respon yang positif terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, pengajar dapat langsung membagikan contoh kartun dan bersiap-siap untuk mendiskusikannya. Sebaliknya bila pembelajar memberikan respon yang negatif, pengajar dapat menyiapkan pertanyaan-pertanyaan terstruktur untuk memahami teks dalam kartun tersebut sebelum meminta pembelajar untuk mendiskusikannya.

Bacaan (whilst-reading)
Kegiatanmembaca dimulai ketika pengajar sudah mendistribusikan teks kepada para pembelajar. Para pembelajar diminta membaca dan memahami isi teks. Kata-kata yang dianggap sulit (karena belum pernah dikenalnya) dicacat dan ditanyakan kepada pengajar. Pengajar menjelaskan makna kata dan langsung memberikan sinonimnya agar penguasaan kosakata pembelajar bertambah. Pada bagian bacaan terdapat pertanyaan tentang teks atau memilih serta mengisi bagian-bagian tertentu dari soal yang disajikan. Untuk mengerjakan bagian ini para pembelajar dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri atas 2 atau 3 orang. Dalam kelompok tersebut pembelajar berdiskusi dengan temannya mengenai apa yang ditanyakan dalam teks. Setelah diskusi selesai pengajar mengecek pemahaman pembelajar dengan bertanya kepada para pembelajar satu per satu mengenai apa yang dikerjakan dan bagaimana hasilnya. Jika dalam materi pelajaran terdapat bagian yang harus diperankan, maka para pembelajar diminta untuk bermain peran (role play) mengenai hal tertentu, seperti wawancara antara wartawan dengan seorang anggota DPR, atau percakapan antara pelayan toko dan pembeli.
Contoh: Pengajar menjelaskan tentang arti kata sungkan dan budaya sungkan yang ada di lingkungan sekitar (di Indonesia).


Pascabacaan (post-reading)
Pada bagian pascabacaan terdapat tugas yang harus dikerjakan oleh para pembelajar setelah pelajaran selesai. Jadi para pembelajar diberi pekerjaan rumah yang harus dikumpulkan pada hari berikutnya ketika pelajaran yang sama berlangsung lagi. Pekerjaan rumah para pembelajar dari tahapan pascabacaan ini harus diperiksa oleh pengajar hasilnya dikembalikan kepada para pembelajar. Jika waktu tidak memungkinkan, bagian pascabacaan ini tidak perlu dibahas di kelas, tetapi pengajar menyediakan waktu bagi para pembelajar jika ingin menanyakan sesuatu terkait materi yang ada.
Contoh: - Pembelajar diberi tugas untuk membaca kartun lain dari mas media yang disukai
- Pembelajar diminta untuk menuliskan pemahamannya atas kartun terkait dalam sebuah paragraf
- Pembelajar mengumpulkan tugas tersebut pada pertemuan berikutnya.




Penutup:
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa pendekatan komunikatif integratif merupakan pilihan yang sesuai bila ingin menggunakan materi otentik dalam pengembangan pembelajaran BIPA. Unsur budaya dan bahasa adalah dua hal yang perlu diperkenalkan sedini mungkin kepada pembelajar. Dengan menggunakan bahan ajar yang fungsional yaitu bahan ajar yang bersumber dari materi otentik, pembelajar akan memperoleh kemudahan untuk menguasai bahasa yang sedang dipelajarinya. Pembelajar dapat lebih memahami kebermaknaan materi yang dipelajarinya karena mereka mengalaminya langsung dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Pengajar dituntut untuk lebih kreatif dalam mengembangkan bahan ajarnya, lebih terstruktur dalam mempersiapkan kegiatan pembelajaran di kelas, lebih optimal dalam memotivasi pembelajar, dan lebih memperhatikan setiap kesulitan maupun keberhasilan pembelajar. Hal ini mutlak untuk dicermati oleh setiap pengajar agar dapat lebih meningkatkan keberhasilan pengajaran BIPA di seluruh Indonesia.


Referensi

Dardjowidjojo, S. 1996. Metode dan keberhasilan Pengajaran Bahasa. Makalah dalam Konferensi Internasioanl II Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (KIPBIPA II). IKIP PADANG.
Dubin, F, and D.E Eskey and W Grabe. 1986. Teaching Second Language: Reading for Academic Purposes. Addison: Wesley Publishing Co.
Kartomihardjo, S. 1996. Bahan Pengajaran Bagi Pembelajar Pemula Dan Teknik Penyampaiannya. Makalah dalam Konferensi Internasional II Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing (KIPBIPA II). IKIP Padang
Lapoliwa, H. 1996. BIPA dan Pembinaan Citra Bahasa Indonesia. Makalah dalam Konferensi Internasioanl II Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (KIPBIPA II). IKIP PADANG.
Lado, R. 1985. Memory Span as a Factor in Second Language Learning, dalam IRAL 3:23-129.
Nunan, D. 1990. Designing Tasks for Communicative Classroom. Cambridge: Cambridge University Press.
Riasa, N. 1996. Bahasa In Bali: Program Pengajaran Bahasa Indonesia Yang Memadukan Komponen Linguistik Dan Budaya Bagi Penutur Asing. Makalah dalam Konferensi Internasioanl II Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (KIPBIPA II). IKIP PADANG.
Subyakto-Nababan. 1996. Pengajaran Bahasa Indonesia Kepada Penutur Asing Menurut Pendekatan Komunikatif. Makalah dalam Konferensi Internasioanl II Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (KIPBIPA II). IKIP PADANG