Minggu, 11 Januari 2009

PARADIGMA BARU PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN MENUJU MASYARAKAT MADANI

Oleh:

Dr. H. Koesnan A. Halim, SH. dan Dr. Fahrurrozi,M.Pd.

A. Pendahuluan

Tuntutan reformasi yang saat ini berkembang di negara kita telah membawa berbagai implikasi dalam segala bidang, apakah itu di bidang ekonomi, politik, sosial, hukum, dan termasuk juga dalam bidang pendidikan. Salah satu tuntutan yang mempunyai makna adalah tuntutan agar bangsa Indonesia tumbuh dan berkembang ke arah masyarakat madani (civil society) melalui bidang pendidikan. Untuk menuju ke arah masyarakat madani melalui pendidikan bukanlah hal yang mudah, perlu adanya sinergi yang erat antara pelaksana pendidikan (tenaga pengajar), masyarakat, maupun pengambil kebijakan (pemerintah). Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menuju masyarakat madani adalah melalui pendidikan kewarganegaraan (selanjutnya disingkat PKn) dalam arti yang luas atau “citizenship education”, yang mencakup sasaran dunia persekolahan melalui “school civic education” dan masyarakat luas melalui “community civic education” (Cogan:1999). Pada masa sebelum reformasi, PKN mengalami masa kejayaan, hal ini terlihat dalam kurikulum yang di dalamnya tercakup mata pelajaran yang berbau wawasan kebangsaan, seperti Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pendidikan Kewarganegaraan, sejarah, dan lain sebagainnya. Dengan masa kejayaan tersebut memang kita lihat masyarakat Indonesia menyadari akan pentingnya arti PKn. Hal ini ditandai dengan adanya kerukunan antarmasyarakat dalam berbagai bidang baik itu keagamaan, sosial, pendidikan, dan lain sebagainya.

Namun, dari eksistensinya PKn pada masa sebelum reformasi adanya keinginan pemerintah/penguasa untuk mengorientasikan PKn pada pengembangan nilai moral yang kabur dan tidak jelas akar keilmuannya, dan lebih diorientasikan untuk mendukung kepentingan rezim pada masa itu untuk mempertahankan status quo. Seiring dengan perubahan politik dari otoriterisme ke demokratisasi untuk menuju Indonesia Baru (civil society), paradigma lama PKn mengalami anomali yang memuncak pada krisis eksistensi PKn.

Untuk mengatasi krisis tersebut perlu dimunculkan paradigma baru PKn, yaitu paradigma yang diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah yang tidak mampu diatasi paradigama lama PKn dan juga sejalan dengan Indonesia Baru. Sosok paradigma baru PKn pada dasarnya dikonstruksi berdasarkan antitesis terhadap paradigama lama PKn. Sosok paradigma baru dapat dihasilkan melalui: (1) pendidikan karakter (character building), (2) penggunaan metode klarifikasi nilai-nilai, (3) menonjolkan aspek budi pekerti, dan (4) pendidikan multikultural. Sebelum kita membahas, satu persatu komponen ini, lebih dahulu kita jelaskan pengertian tentang paradigma, Pendidikan kewarganegaraan, dan masyarakat madani.

B. BEBERAPA PENGERTIAN ISTILAH

1. Paradigma

Istilah paradigma sudah sering dilihat dan didengar, namun demikian antara masing-masing pembaca atau pemirsa belum terdapat konsep (pengertian) yang sama. Oleh karena itu perlu dibahas lebih dahulu pengertian paradigama itu. Paradigma berasal dari bahasa asing yaitu “paradigm” yang artinya model atau pola sesuatu yang dimaksud atau diidekan (Procter:1982). Selanjutnya, Kuhn menyatakan pada prinsipnya ada dua aspek yang terdapat dalam paradigma, yaitu aspek filosofis (fundamental) dan aspek yang skopnnya terbatas, seperti: konsep teori, dan metode. Kemudian untuk menghindari kebingungan, maka Kuhn menjelaskan bahwa kedua aspek tersebut yang dimaksud adalah “matriks disipliner”. Dinyatakan sebagai disipliner karena paradigma itu mengacu pada disiplin tertentu, sedangkan dinyatakan sebagai “matriks”, karena paradigma itu terdiri atas berbagai unsur yang tertata (paradigamtik), yang masing-masing memerlukan spesifikasi lebih lanjut. Paradigmatik inilah yang membentuk matriks disipliner. Dengan demikian paradigmatik membentuk keseluruhan dan berfungsi bersama-sama. Dengan kata lain istilah paradigma mengacu pada unsurr filosofis, sedangkan paradigmatik pada unsur instrumental. Untuk mempertegas pendapat Kuhn tersebut, Ritzer (1992) merumuskan pengertian paradigma secara lebih jelas. Menurutnya paradigma adalah pandangan yang mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang mestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan.

2. Pendidikan Kewarganegaraan

PKn merupakan mata pelajaran yang berupaya mempersiapkan murid untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesuai dengan tuntutan nilai dan moral bangsa Indonesia. Oleh karena itu, PKn merupakan mata pelajaran yang digunakan sebagai wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia. Nilai luhur dan moral tersebut diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku kehidupan sehari-hari siswa, baik sebagai individu maupun sebagai bagian anggota masyarakat dan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

Selain komponen keberagamaan, PKn juga mengemban tugas untuk delapan komponen lainnya, terdiri dari tiga komponen inti demokrasi, empat komponen penunjang dan satu komponen sasaran akhir. Dalam komponen keberagamaan, sasaran yang ingin di raih adalah pengembangan potensi warga sebagai individu. Potensi yang dimaksudkan itu adalah individu sebagai insan Tuhan, sebagai makhluk sosial, sebagai warga negara Indonesia serta sebagai warga dunia yang memiliki wawasan universal tetapi tidak terasing dari semangat kepribadian bangsanya. Adapun komponen demokrasi yang merupakan kemampuan dasar paling inti dalam PKn menyangkut pemahaman akan cita-cita, nilai dan konsep demokrasi itu sendiri. Dengan adanya pemahaman tersebut diharapkan tumbuh suatu dorongan untuk berprilaku demokratis pada seluruh warga negara Indonesia. Sedangkan komponen penunjang terdiri dari kemampuan-kemampuan dasar yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan sikap dan perilaku demokrasi dalam kehidupan masyarakat dan negara. Sasaran akhir yang ingin dicapai dari penerapan ketiga komponen itu adalah kompetensi kewarganegaraan yang mengarah pada pembentukan warga Negara yang mampu berperan secara cerdas dan bertanggung jawab dalam tata kehidupan masyarakat demokratis.

Center for Indonesian Civic Education (CICED) (2000) memberikan pengertian tentang PKn yang merupakan proses transformasi yang membantu membangun masyarakat yang heterogen menjadi kesatuan masyarakat Indonesia, mengembangkan warga negara Indonesia yang memiliki pengetahuan dan kepercayaan terhadap Tuhan, memiliki kesadaran yang tinggi terhadap hak dan kewajiban, berkesadaran hukum, memiliki sensitivitas politik, berpartisipasi dalam politik, dan masyarakat madani (civil society). PKn di sekolah dan di luar sekolah pada dasarnya merupakan komponen utama pendidikan demokrasi yang sengaja dirancang, dilaksanakan, dievaluasi, dan secara kreatif dikembangkan secara berkesinambungan oleh pemerintah bersama dengan lembaga independent dalam bidang keilmuan, kependidikan, dan profesional yang secara akademis memusatkan perhatian pengkajian konsep dan proses demokrasi dan secara profesional bekerja untuk mendidik warga negara yang cerdas dan baik dalam upaya mewujudkan masyarakat madani Indonesia (Sudarsono:1999).

Bila merujuk kepada uraian di atas, tampak bahwa PKn merupakan sebuah cara atau strategi yang digunakan yang bertujuan memberikan pemahaman terhadap demokrasi, moral, wawasan kebangsaan dan lain sebagainya. Namun demikian, Apa yang diharapkan dari filosofi PKn ini jauh dari harapan. Hal ini tercermin pada paradigma PKn persekolahan yang berkembang selama orde baru (paradigma lama). Dalam paradigma lama, visi PKn lebih ditekankan pada kepentingan kekuasaan untuk mempertahankan status quo, sedangkan misinya lebih ditekankan pada upaya mengembangkan warga negara yang baik, dalam arti konformitas dan kepatuhan pada kekauasaan/pemerintah tanpa dibarengi daya kritis. Materi sebagai masalah pokok suatu disiplin, bersifat nonmatriks dan dikembangkan didasarkan pada doktrin nilai normatif, ini mencerminkan akar keilmuan (body of knowledge) bukan merupakan paradigma pilihannya. Karena menganut paradigma yang demikian tersebut, maka mengakibatkan pendidikan kewarganegaraan persekolahan sangat rentan terhadap perubahan politik (tergantung pada kepentingan rezim yang memerintah), sehingga sangat lemah akar keilmuannya. Di samping itu, berakibat kurang mampu untuk mengembangkan pemberdayaan warga negera.

3. Masyarakat Madani (Civil Society)

Dewasa ini tampak telah mengkristal tentang apa yang dimaksud dengan masyarakat Indonesia Baru, yaitu masyarakat sipil atau madani (civil society). Apalagi akhir-akhir ini istilah masyarakat madani sering digunakan sebagai kerangka acuan gerakan reformasi. Gambaran masyarakat madani ditempatkan sebagai cita ideal di mana partisipasi dan keikutsertaan masyarakat dalam mengatur dan menyelenggarakan negara muncul sangat dominan. Dengan demikian, masyarakat madani selalu menunjuk pada optimalnya keterlibatan masyarakat dalam menentukan masa depan dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kata madani berasal dari bahasa Arab, yang dari penggunaan kata itu sendiri dapat dilihat dari beberapa sisi. Pertama kata madani dalam kedudukannya sebagai nisbah dari kata madinah yang berarti kota atau urban. Lawan dari kata madinah ini adalah badiah atau qaryah yang berarti kampung atau rural. Bila dibandingkan antara kehidupan masyarakat kota dan kehidupan masyarakat desa, maka satu hal yang sangat menonjol adalah kota lebih maju dari desa. Dengan begitu madani dalam hal ini mengandung arti maju atau kemajuan. Bila kata “madana” yang merupakan akar kata dari madinah itu dikembangkan kepada tamaddana atau tamaddun secara arti kata akan berarti berakhlak atau bertingkah laku sebagaimana orang kota yang lebih maju. Kata tamaddun ini sering dipakai untuk arti peradaban yang dalam bahasa Inggris digunakan kata civilization.

Kedua kata madani dari segi diterjemahkannya ke dalam bahasa Inggris dengan civil society. Civil dalam hal ini berarti orang, atau orang secara perorang atau perdata. Bila kata orang perorangan itu dikaitkan dengan kata masyarakat akan berarti orang secara perorangan menempati kedudukan yang sama dalam kehidupun kelompok atau masyarakat. Ungkapan ini mengandung arti mandiri atau kemandirian. Civil juga berarti sopan dan beradab. Masyarakat civil berarti masyarakat yang beradab atau mempunyai peradaban atau civilization. Bila kata masyarakat madani dalam arti masyarakat yang baik, sopan, dan beradab dalam artian dihubungkan dengan madani atau masyarakat yang ideal itu adalah masyarakat yang maju dan mandiri serta sopan dan beradab.

Dalam konteks Indonesia, arah masyarakat madani adalah terciptanya pola kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara yang didasarkan pada moral dan etika luhur bangsa Indonesia. Segenap perilaku masyarakat Indonesia senantiasa dijiwai oleh moral dan etika serta akhlak yang mulia. Harun Nasution (1985) mengatakan bahwa masyarakat yang baik dan bahagia adalah masyarakat yang para anggotanya mempunyai akhlak mulia dan budi pekerti luhur.

C. Sosok Paradigma Baru PKn

Untuk mencari sosok paradigma baru PKn, paling tidak perlu melakukan reorientasi terhadap dua aspek, yaitu krisis yang menimpa paradigma lama PKn dan civil society sebagai masyarakat Indonesia Baru. Dengan cara demikian, maka upaya merekontruksi paradigma baru diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah yang dihadapi PKn demi kepentingan bangsa dan Negara.

Seperti telah dikemukakan di depan, aspek krisis yang dialami paradigma lama karena terjadinya pertentangan dan penyimpangan (anomali). Anomali itu, misalnya sebagai disiplin sangat lemah dimensi akademiknya karena apa yang dibahas dalam PKn berupa nilai yang tidak jelas sumber dan akar keilmuannya. Orientasi pada aspek civil society sebagai masyarakat Indonesia baru, berarti intinya bagaimana mengembangkan suatu masyarakat yang otonom khususnya secara politis dan beradab yang mampu meruntuhkan otoriterisme dan menggantinya dengan demokratisasi.

Berdasarkan pemikiran di atas, maka sosok paradigma baru hakekatnya merupakan antitesis dari paradigma lama. Sehingga paradigma baru yang muncul mestinya berupa PKn yang didalamnya lebih menekankan kepada (1) pendidikan karakter (character building), (2) penggunaan metode klarifikasi nilai-nilai, (3) menonjolkan aspek budi pekerti, dan (4) pendidikan multikultural. Keempat aspek tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Pendidikan Karakter (character Building)

Tujuan akhir dari PKn agar siswa memiliki pola pikir dan perilaku yang bermoral. Pola pikir dan perilaku ini dapat dilakukan dengan menerapkan karakter pelajar (character building) secara penuh dalam PKn. Dengan adanya pendidikan karakter diharapkan upaya mencerdaskan moralitas generasi muda bangsa Indonesia dapat tercapai dengan baik. Sebenarnya, kalau efektif, ilmu sendiri memberi kontribusi dalam character building pelajar. Dengan terbiasa mempelajari ilmu secara bertahap, biasa bekerja menurut aturan diharapkan pelajar akan membiasakan diri untuk bekerja secara sistematis, runtut, dan memperkecil unsur spekulatif. Oleh karena itu, tujuan mendidik karakter pelajar baru dapat tercapai di sekolah apabila PKn diberikan dalam suasana bebas, siswa tidak dibayang-bayangi kewajiban untuk lulus dari pelajaran dengan standar nilai tertentu, siswa terlibat dalam prose pembelajaran tanpa tekanan sekalipun itu pelajaran wajib. Karena tidak ada alat ukur kuantitatif, guru akan lebih berusaha membuat suasana belajar mengajar di kelas menjadi menarik dan berbobot, dengan simpatik memancing minat siswa untuk mendengarkan.

2. Penggunaan metode klarifikasi nilai-nilai

Di dalam PKn hendaknya terdapat sebuah cara/metode yang digunakan guru untuk membelajarkan muridnya sehingga diharapkan dapat meningkatkan moral, perilaku, wawasan kebangsaan, dan lain-lain. Kita tidak ingin setiap saat mendengar dan melihat terjadinya tawuran antarpelajar, seks bebas, narkoba, maupun terbiasa mencontek. Untuk menyikapi hal tersebut perlu adanya metode yang digunakan untuk menangkal hal-hal negative yang terjadi pada pelajar kita. Salah satu metode PKn yang perlu dipertimbangkan untuk dikembangkan dalam system pendidikan kita adalah metode klarifikasi nilai-nilai (values clarification). Metode ini pada prinsipnya sangat menghindari pemaksaan nilai-nilai pada diri para siswa. Gagasan dasar yang melandasi metode ini ialah bahwa setiap siswa berhak dan bertanggung jawab atas pembentukan nilai-nilai hidupnya sendiri. Tugas guru hanyalah menyadarkan setiap siswa atas nilai-nilai kehidupan yang dipilihnya sendiri secara bebas dan bertanggung jawab.

Pendidikan yang produktif dan efektif tentu saja tetap harus memperhatikan dimensi kognitif, afektif dan aksional. Dimensi kognitif berkaitan dengan pemahaman rasional dan kemampuan memilah serta memilih nilai-nilai yang melingkungi kehidupan sehari-hari. Dimensi afektif berkenaan dengan kecocokan rasa serta hati. Adapun dimensi aksional berhubungan dengan tindakan kongkret yang merupakan pengejawantahan atas pemahaman serta kecocokan suatu nilai yang telah dipilih oleh para siswa itu sendiri. Tampaknya metode klarifikasi nilai nilai seperti apa yang diuraikan di atas sangat sederhana. Akan tetapi apabila diterapkan secara tepat akan berimplikasi kepada moral dan perilaku siswa.

3. Menonjolkan aspek budi pekerti

Seperti yang diuraikan di atas, terdapat sembilan komponen PKn, salah satunya adalah komponen keberagamaan yang di dalamnya tercakup unsur budi pekerti. Walaupun tercakup dalam komponen PKn, unsur budi pekerti masih belum kelihatan eksistensinya. Hal ini dapat kita lihat pada proses pembelajaran PKn di sekolah yang cenderung mengedepankan komponen demokrasi dan komponen lainnya. Komponen keberagamaan yang di dalamnya tercakup unsur budi pekerti lebih banyak dianaktirikan. Hal ini menjadi pertanyaan besar kita semua, apakah komponen keberagamaan merupakan bagian dari mata pelajaran pendidikan agama yang skopnya berbeda dengan PKn? ataukah unsur budi pekerti merupakan lahan bagi orang tua siswa yang dapat diajarkan di rumah?. Pertanyaan ini membuat kita merenung apakah ini terjadi karena di dalam kurikulum unsur budi pekerti tidak menonjol?, apakah guru yang mengajarkan PKn tidak memiliki kualifikasi dan kompetensi yang jelas?. Semua pertanyaan tersebut dapat kita jawab apabila semua komponen yang terlibat dalam PKn menyadari akan pentingnya unsur budi pekerti.

Guru sebagai pelaksana di lapangan diharapkan dapat lebih menonjolkan unsur budi pekerti yang sesuai dengan budaya bangsa Indonesia. Membicarakan aspek demokrasi dalam proses pembelajaran merupakan suatu hal yang relevan, namun apabila membicarakan demokrasi secara berlebihan akan mengakibatkan tidak baik akan pemahaman siswa terhadap arti, dan fungsi demokrasi. Adalah wajar apabila seorang guru membicarakan demokrasi dengan diimbangi unsur budi pekerti sehingga siswa akan memahami bahwa demokrasi yang di dalamya terdapat sendi-sendi budi pekerti akan menghasilkan pendidikan demokrasi secara benar.

Sebagai penentu kebijakan, pemerintah hendaknya dapat menonjolkan aspek budi pekerti dalam PKn. Menurut penulis, minimal harus terdapat 40% unsur budi pekerti yang harus masuk dalam kurikulum PKn. Seperti yang diuraikan di atas, di dalam PKn paradigma lama, unsur budi pekerti masuk ke dalam komponen keberagamaan. Untuk ke depannya perlu juga diperhatikan unsur budi pekerti terintegrasi ke dalam komponen demokrasi dan komponen lainnya.

4. Pendidikan Multikultural

Terjadinya perpecahan bangsa dewasa ini seperti, gerakan separatis, terorisme, kerusuhan yang berbau SARA, tawuran antar pelajar dan lain sebagainya diakibatkan ada yang salah dalam proses bernegara kita. Kesalahan terbesar yang penulis amati adalah kurangnya pendidikan yang berwawasan kebangsaan bagi setiap rakyat Indonesia. Memang di dalam mata pelajaran PKn unsur berbangsa dan bernegara dibahas dan diajarkan. Namun demikian unsure multikultural sebagai perekat kebangsaan setiap warga negara Indonesia tidak diajarkan secara benar.

Multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatic melainkan cara pandang kehidupan manusia, karena hamier semua negara di dunia tersusun dari anekaragam kebudayaan. Artinya perbedaan menjadi asas dan gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi semakin intensif, maka multikulturalisme itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan multikultural sebagai politik pengelolaan perbedaan kebudayaan warga Negara (Kompas, 22 Januari 2006). Merujuk kepada uraian di atas, model kebijakan multicultural seperti apa yang dapat diterapkan dalam kurikulum PKn. Hikmat Budiman (2005) mengemukakan tiga model kebijakan multikulturalisme, yaitu: (1) model yang mengedepankan nasionalitas. Nasionalitas adalah sosol baru yang dibangun bersama tanpa memperhatikan aneka suku bangsa, agama, dan bahasa serta nasionalitas bekerja sebagai perekat integrasi; (2) model nasional-etnik yang berdasarkan kesadaran kolektif etnik yang kuat yang landasannya adalah hubungan dan dan kekerabatan dengan pendiri bangsa; (3) model multikultural-etnik yang mengakui eksistensi dan hak-hak warga etnik secara kolektif. Dalam model ini keanekaragaman menjadi realitas yang harus diakui dan diakomodasi Negara, dan identitas dan asal-usul warga Negara diperhatikan.

D. Penutup

Tentu saja apa yang dipaparkan di atas masih sangat sederhana. Posisinya sebagai pengantar diskusi ini membuka kemungkinan untuk diperdebatkan guna menemukan rumusan yang lebih sempurna dan komprehensih tentang gamabaran paradigma baru pendidikan kewarganegaraan menuju masyarakat madani.

Untuk itu, kritik, saran, perbaikan betapapun kecilnya akan sangat berguna bagi kesempurnaan percikan-percikan pikiran yang sudah dicoba ditampailkan dalam makalah ini.

Jakarta, 24 Januari 2006

Dr. H. Koesnan A. Halim, SH.

DAFTAR PUSTAKA

CICED, 2000. A Need Assessment for New Indonesian, Civic Education : A National Survey 1999 : 2000, Bandung : CICED.

Kompas. “Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia”, edisi Sabtu, 21 Januari 2006.

Kuhn, Thomas S. 1993. Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. Penerjemah : Tjun Surjaman. Bandung : Rosdakarya.

Nasution, Harun. 1985. Ajaran Islam Tentang Akal dan Akhlak. Seminar Nasional Pendalaman Agama. Akarta : IAIN Syarif Hidayatullah.

Procter, Paul (editor in chief). 1982. Longman Dictionary of Contemporary English. USA: Longman Group Ltd.

Ritzer, George. 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Penerjemah: Alimandan. Jakarta : Rajawali Press.

Hikmat Budiman, dkk. 2005. Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia. Jakarta: Yayasan Intereksi.

Tidak ada komentar: